Setujukah kalian jika menunggu itu pekerjaan paling membosankan? Ya, bisa jadi. Tapi, percayalah. Nilai kesabaran akan meningkat jika terlatih menunggu.
Bagi orang sesabar Abi Assegaf, menunggu itu mudah. Sabarnya jangan ditanya. Ilmu sabarnya tertular pada Arlita, Adica, dan Asyifa. Namun, siapakah yang ditunggu Abi Assegaf malam ini?
"Abi, maaf ya. Aku tidak bisa main piano. Kalau aku bisa, Abi tak perlu menunggu Calvin seperti ini." Adica meminta maaf, terlihat bersalah.
Abi Assegaf tersenyum. Satu tangannya yang masih terbalut selang infus menepuk lembut punggung anak angkatnya.
"Abi tetap bangga memilikimu. Bakat bermain biola sama berharganya."
Adica membalas senyuman tulus itu. Ia peluk erat biolanya, seolah tak mau kehilangan.
Angin berbisik-bisik, mengirimkan kesejukan di sekeliling halaman studio. Tamu undangan berdatangan. Memenuhi halaman parkir dengan mobil mewah mereka. Turun dari mobil, rerata mereka melakukan hal yang sama: menghampiri Abi Assegaf, menyapanya hangat, dan menanyakan kesehatannya. Pimpinan Refrain Radio itu selalu menjawab pertanyaan tentang kesehatan dengan jawaban kalimat tahmid. Entah apa maknanya. Hanya Allah dan Abi Assegaf yang tahu.
Sebuah SUV putih menepi. Pintu pengemudi terbuka. Calvin turun dari mobil. Langkahnya sedikit limbung, wajahnya pias, namun senyum tak lepas dari paras tampannya.
"Abi, maaf. Apa aku terlambat?" tanyanya setengah menyesal.
"Tidak, anakku. Acaranya saja belum mulai. Tenang saja." kata Abi Assegaf menenangkan.
"Syukurlah. Di jalan, tadi aku sudah waswas. Takut terlambat."