Pagi-pagi sekali, Abi Assegaf sudah bersiap pergi. Pria tampan berlesung pipi itu membawa mobil tanpa supir. Belum sempat membuka pintu mobil, ia dikagetkan kehadiran Adica.
"Abi mau siaran ya?" tanya pemuda itu.
"Iya, Sayang. Hari ini jadwalnya Abi bawakan program Kuliah Subuh dan Harmoni Pagi."
Adica melayangkan tatapan. Selalu saja, Abi Assegaf luluh.
"Kenapa, cinta? Kamu..."
"Aku igin siaran,"
Abi Assegaf menghela nafas. Sekilas melirik Guess di pergelangan tangan, lalu menatap Adica. Senang rasanya Abi Assegaf melihat Adica memakai jas dan kemeja yang telah ia sediakan di built-in-clothesnya. Sehari setelah pindah ke rumah mewah tepi pantai, Adica mendapat banyak pakaian branded dan mahal. Abi Assegaf membuang semua pakaian lamanya.
"Tapi kamu masih sakit, Nak..." Abi Assegaf lembut menjelaskan.
"Aku sehat. Sungguh, Abi. Ayolah izinkan aku siaran."
Tatapan innocent Adica memerangkap Abi Assegaf. Sulit, sulit sekali untuk menolak. Hatinya yang lembut terus mendesak untuk mengiyakan. Tetiba sebuah ide terlintas.
"Ok, kamu boleh siaran. Tapi berdua sama Abi. Take it or leave it."
Rasanya Adica ingin tertawa. Suara lembut Abi Assegaf tak cocok untuk berkata keras. Kalimat terakhir seakan dipaksakan untuk tegas.
Abi Assegaf membukakan pintu mobil sebelah kiri. Ia berjalan memutar, lalu naik ke mobil lewat pintu pengemudi. Dua menit berselang, Honda Jazz merah itu meluncur meninggalkan rumah.
** Â Â
Kadang terasa sulit untuk mensyukuri
Apa yang ada
Apa yang ada
Atau memang hanya kita saja yang tak puas dengan
Apa yang ada
Apa yang ada
Tak semua orang bisa punya kesempatan yang sama
Andaikan engkau dapat membuka mata
Kita bisa rasakan bahagia
Asalkan kita terus percaya
Sadari semua makhluk tercipta
Tuk saling dapat menjalani
Hidup ini bersama (Ran ft Tulus-Kita Bisa).
** Â Â Â
Sejumlah karyawan Refrain Radio bertanya-tanya. Mengapa bos mereka yang kaya raya hanya memakai satu mobil ke kantor? Kelakuan Abi Assegaf mirip dengan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg. Zuckerberg hanya memakai Honda Jazz. Lihat, bahkan jenis mobil mereka sama. Mungkin Abi Assegaf terinspirasi spirit salah satu orang terkaya itu.
Wajar bila sebagian besar karyawan mengagumi Abi Assegaf. Bukan hanya karena kepemimpinan, kebaikan, dan ketampanan luar-dalam saja. Tetapi juga karena kesederhanaannya.
Lihat saja apa yang mereka lakukan begitu Abi Assegaf turun dari mobil. Memberi sapaan tulus, berebutan menyalami dan mencium tangannya. Semua menghormati, semua mengagumi.
Abi Assegaf membalas semua perlakuan baik itu dengan tulus. Meski tak lagi muda, ingatannya masih segar. Ia hafal semua nama dan divisi karyawannya. Itu baru karyawan Refrain Radio. Belum lagi karyawan-karyawan dari lini bisnis kepunyaan Abi Assegaf yang lainnya.
"Sini, Sayang. Jika mereka menghormati Abi, mereka juga harus menghormatimu." Abi Assegaf menggamit lengan Adica.
"Di sini saya hanya penyiar biasa, Abi."
"Tidak. Kau anakku mulai kini."
Tanpa ragu, Abi Assegaf menyebut Adica sebagai anaknya. Praktis beberapa penyiar memendam iri. Mereka pun mau diperlakukan istimewa oleh pemimpin sebaik itu.
Dengan penuh kasih, Abi Assegaf menuntun Adica ke ruang siaran. Sabar mengiringi langkah pemuda itu yang tidak selincah dulu. Bahkan ketika Adica tanpa sadar mengeluh tulang-tulangnya sakit dan nyaris jatuh di depan pintu studio, Abi Assegaf lembut memapahnya. Benar-benar fatherly.
Sejumlah penyiar berbisik-bisik. Deddy dan Sasmita yang paling culas di antara mereka.
"Hanya karena dia sakit, langsung diperhatikan Assegaf." Deddy berbisik keji. Hanya Deddy dan Sasmita yang tidak memanggil Zaki Assegaf dengan sebutan Abi. Sebab merekalah yang merasa "membantu" saat Abi Assegaf mendirikan Refrain Radio. Keduanya merasa senior. Mereka anggap Abi Assegaf partner, bukan atasan.
"Kok Assegaf maunya sih, merawat anak muda sakit-sakitan kayak gitu?" kecam Sasmita.
"Yah, dia kan orang baik. Waktu mobilnya dirusak tunawisma aja dia nggak marah."
"Tapi, menurutku dia sudah kelewatan. Anak itu juga. Nggak tahu diri."
Rasa iri di dunia kerja, itu lagu lama. Disusul strategi untuk menjatuhkan Adica. Politik kantor yang licik. Bodohnya Deddy dan Sasmita. Mereka pikir Zaki Assegaf tak punya otak brilian untuk melindungi Adica dari kelicikan mereka?
** Â Â Â
Selama menjalani perawatan intensif di rumah sakit, Calvin menerima banyak kunjungan dari orang-orang yang care padanya. Ia sering dikunjungi teman-temannya, para pembaca blognya, dan rekan-rekan sesama model. Jangan khawatir, Calvin tak pernah kehabisan pembesuk tiap harinya.
Pagi ini, Calvin mendapat kunjungan tak terduga. Seorang desainer yang peernah mengontraknya datang. Ia berkunjung tidak dengan tangan kosong. Sebuket besar bunga dan parsel buah ia letakkan di meja.
Tanda tanya muncul di hati Calvin. Ia tak mengerti, mengapa ada orang-orang tertentu yang membawakannya bunga? Apa manfaat bunga untuk orang sakit? Kalau buah, mungkin menyehatkan. Meski pada kenyataannya buah lebih banyak dinikmati penunggu pasien dibandingkan pasien itu sendiri.
Kunjungan si desainer ternyata tak membawa madu, tapi ia membawa racun. Ia bercerita kesuksesannya membuka cabang butik di beberapa kota. Awalnya, tak masalah bagi Calvin. Dia senang mendengar kesuksesan orang lain. Mungkin juga si desainer ingin memotivasi, begitu pikirnya positif.
Namun, lama-kelamaan desainer itu makin keterlaluan. Dia mengaku kecewa karena Calvin tak bisa lagi membawakan koleksi karya terbarunya. Disesalinya kondisi Calvin yang kini tak lagi sehat. Lalu dia membandingkan Calvin dengan model baru yang dikontraknya.
Calvin sedih. Perasaan tak berguna merayapi hati. Diikuti sergapan rasa rindu. Rindu modeling, rindu kampusnya, dan rindu banyak hal.
"Kenapa, Sayang?" Tuan Effendi memegang halus tangannya.
"Masih kepikiran desainer itu, ya?"
"Aku rindu modeling, Pa."
"I see. Semua ada waktunya, Dear."
Belaian hangat Tuan Effendi sedikit menenangkan Calvin. Perlahan diraihnya iPhone. Ia buka aplikasi audio streaming. Mendengarkan Refrain Radio tak ada salahnya.
"...97.6 FM Refrain Radio, Brilian and Inspiratif. Masih bersama saya, Zaki Assegaf."
"Dan saya, Adica Wirawan,"
"Di Harmoni Pagi."
Luar biasa. Allah tahu cara membuat Calvin senang. Mendengar suara-suara bernada hangat dan lembut sudah cukup.
"Pendengar, tepat pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Saatnya Cerita Inspiratif." Abi Assegaf memulai, ditimpali "anak lelaki"nya.
"Ada sedikit hal inspiratif yang ingin kami bagikan pada pendengar. Semoga kisah inspiratif ini dapat menjadi mood buster untuk pendengar."
Sedetik kemudian, terdengar alunan musik. Backsound mengalir syahdu. Abi Assegaf memulai bagian pertama dengan suara lembut.
"Zona waktu. Pendengar, tahukah Anda? New York dan California memiliki perbedaan waktu 3 jam. Namun, itu tidak berarti New York dan California lebih lambat kemajuannya dari pada yang lain. Karena apa? Karena ada zona waktu, karena mereka memiliki zona waktunya sendiri."
Adica meneruskan cerita ayah angkatnya. "Obama pensiun sebagai Presiden di usia 55 tahun. Donald Trump mulai menjabat Presiden Amerika setelah berusia 70 tahun. Seorang CEO mulai menjabat di usia 25 tahun, kemudian meninggal di usia 50 tahun. CEO lainnya menjabat di umur 50 tahun dan meninggal saat berumur 90 tahun. Tak ada kata terlambat. Setiap orang memiliki zona waktu."
"Semua orang berlomba di zona waktunya sendiri. Tidak ada yang terlambat." Abi Assegaf menimpali dengan elegan, lembut tetapi mengena.
"Semua orang memiliki kecepatannya sendiri dalam mencapai banyak hal. Terkadang, mungkin Anda merasa tertinggal dibandingkan teman-teman Anda. Percayalah, semua ada waktunya. Tuhan punya rencana berbeda."
Sungguh, kisah inspiratif itu tak lebih dari tiga menit. Efeknya langsung terasa. Kata demi kata menyentuh tepat ke hati terdalam.
Sesuatu yang lembut menyentuh hati Calvin. Tiap orang memiliki zona waktunya sendiri. Benar, itu benar.
Mau tak mau Tuan Effendi mengakuinya. Kini ia melepaskan diri dari subjektivitas akibat rasa tak suka pada Abi Assegaf. Konten inspiratif di acara Harmoni Pagi menyentuh hatinya.
"Nah, dengarkan kata Abi Assegaf. Kita semua memiliki zona waktu, Calvin Sayang. Sekarang kamu sakit. Tapi, nanti ada waktunya kamu kembali bangkit dan menggapai kesuksesan. Kecepatanmu dengan kecepatan orang lain berbeda, Sayang. Sekarang, fokusmu adalah cepat sembuh. Setelah itu, barulah kauraih lagi semua mimpimu."
Zona waktu. Dua kata itu terekam jelas di benak Calvin.
Usai cerita inspiratif, Abi Assegaf memutarkan sebuah lagu.
Sebuah cerita inspiratif yang menggetarkan. Mempengaruhi pikiran dan hati pendengar. Pelajaran hidup datang dari mana saja. Tak terkecuali dari petikan cerita inspiratif di radio.
** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H