Dalam gerakan slow motion, Adica merengkuh Syifa ke pelukannya. Syifa melanjutkan isakannya di pelukan Adica. Walau tak banyak kata selembut Calvin, kehadirannya saja sudah menyamankan hati Syifa.
"Oh, sorry..." Syifa meminta maaf, menyeka hidungnya.
"No problem. Kau memang butuh tubuh lain untuk bersandar. Gunakan saja milikku, meski tubuh ini rapuh dan menunggu."
Menunggu apa? Tak sempat tanya itu terlontar, Syifa merasakan beban berat di bahunya. Adica merasakan sakit, wajahnya memucat. Ia sandarkan berat tubuhnya pada Syifa.
"Are you ok?" tanya Syifa khawatir.
"Dingin, Syifa...dingin." rintih Adica berulang-ulang.
Kepanikan menebar. Syifa mengeratkan pelukannya. Tak tega melihat laki-laki pujaan hatinya kesakitan. Disalurkannya kehangatan dan kekuatan lewat pelukan.
Besar harapannya, rasa sakit Adica berpindah ke tubuhnya saja. Bisakah rasa sakit dipindahkan?
Sakit itu adalah pertanda. Pertanda mereka harus secepatnya kembali ke rumah sakit. Detik berikutnya, Adica muntah.Â
Syifa tidak peduli bajunya dikotori darah dan muntahan. Tak peduli pula karena secara tak langsung ia telah kontak dengan obat kemoterapi.
Syifa berbisik menguatkan. Lembut dipapahnya Adica ke mobil. Abi Assegaf, Calvin, Revan, dan Silvi bergegas mengikuti dengan kekhawatiran menggelembung.