Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Pertobatan Sunyi

15 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 15 Oktober 2018   06:21 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja menyapa indah di lereng bukit. Gradasi merah keemasan menyapu langit. Kuas berisi cat merah ditorehkan langsung ke lembaran langit oleh tangan Tuhan. Rerumputan berdesir, angin bernyanyi. Petang seindah itu, Calvin melewatkan waktu bersama Revan dan Silvi. Revan sahabat masa kecilnya, Silvi gadis cantik yang telah dijodohkan dengannya sejak kecil pula.

"Alhamdulillah...kemoterapi pertama hasilnya positif ya." kata Silvi, mata birunya berbinar bahagia.

Revan meremas kertas hasil tes terbaru, lalu melemparnya ke rumput. Calvin biarkan saja sahabat pirangnya berulah begitu. Kesyukuran mengaliri hatinya. Syukur karena dua orang yang paling dicintai setelah Mama-Papanya kembali hadir.

"Maaf ya, kami lama di Manado. Sungguh, sama sekali tak ada maksud mengabaikanmu." Revan meminta maaf, seolah membaca pikiran Calvin.

"Tak ada yang perlu dimaafkan." Abi Assegaf berbisik lembut, mengusap kening Adica yang dibanjiri keringat dingin.

Honda Jazz merah itu menepi di sebuah rumah sederhana bercat kelabu. Indahnya langit sore menjelang petang itu kontras dengan suasana hati Abi Assegaf. Hatinya kelam oleh kecemasan. Cemas pada sosok tampan yang tersandar lemah di mobilnya dalam kondisi setengah sadar.

Sadar kondisi penyiar kesayangannya terlalu lemah, Abi Assegaf bertindak cepat. Diangkatnya tubuh Adica ke dalam rumah. Roda usia boleh saja melaju, tetapi kekuatan belum menyusut. Hati-hati dibaringkannya tubuh tinggi semampai itu di ranjang.

"Papa..." Adica menyebut Papanya tanpa sadar. Sesekali diiringi erangan.

Tergetar hati Abi Assegaf. Ya, Allah, pemuda ini sungguh tak berdaya. Ia sakit, ia lelah jiwa-raga. Lembut dielus-elusnya kening dan rambut Adica, ia biarkan rasa panas mengaliri telapak tangan.

"Aku di sini, anakku. Istirahatlah...aku di sini."

"Papa, maafkan aku. Aku mengecewakan Papa di akhir hidup..."

Erangan-erangan itu teramat menyedihkan. Makin dalam kekhawatiran Abi Assegaf. Mengapa sejak bertemu dokter dan melakukan tes darah, kondisi Adica justru makin parah? Apa sebenarnya yang terjadi?

"Aku tak tahu apa yang terjadi," Calvin menghela nafas, lalu melanjutkan.

"Tapi aku merasa dikuatkan. Papa menguatkanku...juga Mama, dan kalian berdua."

Petang berganti malam. Dinginnya udara perbukitan tak baik untuk Calvin. Revan pun memapah sahabatnya itu masuk ke dalam dibantu Silvi. Kini, Calvin tak selincah dulu. Sewaktu masih sehat, berjalan di runway memperagakan koleksi terbaru karya desainer butik yang mengontraknya pun, Calvin masih sanggup. Sejak sakit, berjalan biasa saja Calvin sering jatuh.

"Stop, Revan." kata Calvin tepat di depan grand piano putih yang berdiri anggun di ruang tamu.

Revan mengangguk. Silvi tersenyum penuh arti. Jemari lentik Calvin bergerak pelan memainkan intro. Usai intro, pemuda berkacamata itu pun bernyanyi.


Ada kala ku merasa

Hidup ini seperti kaca

Jikalau tidak bersabar

Hancur berderailah akhirnya

Tabahkanlah hatiku

Melalui semua itu

Kuatkanlah jagakanlah hatiku

Oh Tuhan terangkan hati dalam sanubariku

Untuk menempuhi segala

Hidup penuh jabaran ini

Oh Tuhan ku berserah segalanya kepadaMu

Agar jiwaku tenang dengan bimbinganMu selalu (Afgan-Kumohon).

**       

Puluhan kilometer dari rumah mewah di lereng bukit, tepat ketika Calvin bernyanyi dan bermain piano, Adica tenggelam dalam mimpi buruknya. Mimpi buruk yang menjadi bagian dari kepingan pahit masa lalu.

Jeruji sel terbuka. Dengan wajah lega, pemuda tampan orientalis itu berjalan keluar.

"Sekarang kamu bebas!" ucap sipir penjara tegas.

Adica membungkuk hormat, berterima kasih, lalu mengganti pakaian tahanannya. Kini ia bebas, bebas sepenuhnya.

Ia berjanji akan memperbaiki diri. Nikmat kebebasan dengan perantara pengacara Papanya takkan disia-siakan. Semuanya telah berubah. Saatnya bertobat dan memulai lembaran baru.

Keluar penjara, Adica tak kembali ke rumah Michael Wirawan. Luntur nyalinya menginjakkan kaki di rumah besar Victoria itu setelah sang Papa meninggal. Adica belum siap menerima makian, tamparan, dan hinaan seluruh anggota keluarga Wirawan.

Ia pun berjalan menyusuri kota. Melewati ruas jalan protokol dengan deretan gedung tua peninggalan Belanda di kanan-kirinya. Barisan gedung itu diselingi pepohonan. Adica berjalan, terus berjalan. Tak peduli kelelahan dan kesemutan menjalari kedua kakinya.

Di persimpangan jalan, matanya tertumbuk ke arah papan kecil yang tergantung di pintu masuk sebuah bengkel. Rupanya pengumuman rekrut montir baru. Ini menarik bagi mereka yang ingin mencari pekerjaan. Terdorong alasan coba-coba, Adica memberanikan diri mencari peruntungannya di sana. Semesta belum berpihak pada Adica. Begitu mengenali profil wajahnya, si pemilik bengkel langsung menolak.

Adica kembali berjalan dengan putus asa. Dia berpapasan dengan seorang ibu di pertigaan. Tas milik sang ibu jatuh. Adica mengambilkan tas itu, memberikannya dengan sopan. Kali ini tak ada reaksi negatif.

Berulang kali ia mencari pekerjaan. Beragam penolakan pedas diterimanya. Tak ada yang mau menerima mantan narapidana. Sekalipun si mantan narapidana sudah memasuki jalan pertobatan.

Sepi menyergap hati. Puncak kesepiannya ia labuhkan ke sebuah bukit. Pemuda orientalis itu shalat berlantaikan rumput, beratapkan langit. Hamparan bunga di sebelah kiri, bentangan rumput hijau di sebelah kanan.

Di atas bukit, Adica bersujud. Hatinya menjerit memohon kekuatan Tuhan. Ia meminta ketabahan dan bimbinganNya. Sungguh, tragedi demi tragedi yang menimpa telah membuatnya insyaf.

Baru saja ia menyelesaikan shalat, seorang pria separuh baya berwajah oriental menghampirinya. Adica tersenyum ramah, dibalas ramah pula oleh pria itu.

"Mengapa shalat di sini, Nak?" tanya pria perlente itu, nadanya bersahabat.

"Saya butuh ketenangan. Semua orang tak mendukung pertobatan saya," jawab Adica datar.

Alis si pria terangkat. "Pertobatan? Apa yang terjadi?"

"Saya baru keluar dari penjara..."

"Keluar dari penjara? Orang berwajah setampan dirimu pernah masuk penjara?" sela pria itu heran.

"Saya dipenjara karena membunuh orang. Tak sengaja sebenarnya, kecelakaan mobil. Saya menabrak lima orang sampai mati dengan mobil saya..."

"Ya, Allah...tampangmu terlalu baik untuk jadi pembunuh, Nak. Terlalu lembut, terlalu teduh, terlalu alim. Wajahmu mengingatkan saya pada anak saya. Namanya Calvin. Dia setampan dirimu..."

Adica tertunduk. Apa gunanya ketampanan fisik bila citra rusak?

Sejurus kemudian, pria bertubuh agak gemuk dan berkulit putih itu mengulurkan kartu nama. Ragu, Adica menerimanya.

"Kamu tak pantas berkeliaran sendirian di bukit ini. Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi saya. Nama saya Effendi. Saya akan membantumu sebisanya. Tuhan tidak melihat rupa dan hartamu, tapi Tuhan melihat hatimu."

Kartu nama di tangan Adica bergetar. Tuan Effendi berjalan pergi. Apakah ini petunjuk dari langit? Apakah ini pertanda kalau dirinya tak sendiri?

Embun kebahagiaan di hatinya lenyap terhisap kelicikan. Tepat ketika Adica bangkit dari rerumputan, sebuah Alphard hitam berhenti. Orang-orang berwajah bulat, berkulit kuning langsat, dan bermata segaris berlari ke arahnya. Adica terperangah. Dalam sekejap, ia seakan dikepung seluruh anggota keluarga Wirawan.

"Oh, ternyata kamu di sini! Jangan bikin malu kami ya!" hardik James Wirawan, salah satu sepupunya.

"Puas kamu?! Puas udah bikin Om Michael meninggal?! Padahal dia sayang banget sama kamu! Om Michael sayang sama anak pungut, orang yang salah buat disayang!" Isabelle Wirawan mendamprat Adica penuh kebencian.

Thomas Wirawan menarik kerah bajunya. James Wirawan menampar tangannya, merampas kartu nama Tuan Effendi. Isabelle Wirawan, Jeany Wirawan, dan Daniel Wirawan melukai jemarinya hingga berdarah. Dengan teganya, mereka menulis sesuatu bertintakan darah: Pembunuh, Pencuri Kasih Sayang.

**     

"Perasaanku tak enak..." desah Calvin, bersandar di sofa dengan mata terpejam.

Revan meletakkan tangan di bahunya. "Kenapa? Kamu sakit lagi?"

"Sakit...aku bukan pembunuh."

Adica terus saja merintih kesakitan. Abi Assegaf tak tega. Ia ambil kain kompres dan air hangat. Sepanjang sisa malam itu dilewatinya dalam kasih. Pria berlesung pipi itu tak meninggalkan sisi tempat tidur Adica. Dia hanya beranjak untuk mengganti kain kompresan.

"Papa, aku minta maaf. Aku salah. Harusnya aku mendengarkan Papa waktu itu...aku rindu Papa."

Hati Abi Assegaf tertusuk. Ingin sekali ia gantikan posisi Michael Wirawan di hati pemuda ini. Sejak mengenalnya, Abi Assegaf sudah merasakan benih kasih sayang. Beberapa kali ia tergerak mengadopsi Adica. Namun...

"Aku cinta Papa. Aku sayang Papa..."

"Aku di sini, anakku. Aku di sini..." lirih Abi Assegaf, memegang erat tangan Adica.

Mengapa terasa begitu sakit? Mengapa menyakitkan saat dirinya mendengar pemuda itu memanggil-manggil Papanya? Naluri kebapakan Abi Assegaf naik ke permukaan. Lama hidup sendiri, jauh dari mantan istri dan anak kandungnya, Abi Assegaf sangat tertekan. Merawat Adica mengembalikan sekeping bahagia yang lama hilang.

"Sudah hilang...sedikit."

Calvin bernafas berat, membuka matanya. Silvi memeluk pundaknya lembut.

"Apa yang kaupikirkan, Sayang?" tanyanya halus.

"Aku rindu adikku."

Ruang pemahaman terbuka. Segumpal kerinduan melayang. Revan dan Silvi tahu kisah masa lalu itu.

"Sabar ya...semua ada waktunya." hibur Revan dan Silvi.

Semua ada waktunya. Kata-kata itu terekam kuat di benak Calvin.

Kata-kata itu pula yang dibisikkan Abi Assegaf pada diri sendiri saat mengganti kain kompresan menjelang tengah malam. Tuhan telah mengatur waktunya. Cukup berdoa, berprasangka baik, dan berserah, waktu yang dijanjikan akan datang. Bukankah janji Tuhan tak pernah salah?

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun