Senja menyapa indah di lereng bukit. Gradasi merah keemasan menyapu langit. Kuas berisi cat merah ditorehkan langsung ke lembaran langit oleh tangan Tuhan. Rerumputan berdesir, angin bernyanyi. Petang seindah itu, Calvin melewatkan waktu bersama Revan dan Silvi. Revan sahabat masa kecilnya, Silvi gadis cantik yang telah dijodohkan dengannya sejak kecil pula.
"Alhamdulillah...kemoterapi pertama hasilnya positif ya." kata Silvi, mata birunya berbinar bahagia.
Revan meremas kertas hasil tes terbaru, lalu melemparnya ke rumput. Calvin biarkan saja sahabat pirangnya berulah begitu. Kesyukuran mengaliri hatinya. Syukur karena dua orang yang paling dicintai setelah Mama-Papanya kembali hadir.
"Maaf ya, kami lama di Manado. Sungguh, sama sekali tak ada maksud mengabaikanmu." Revan meminta maaf, seolah membaca pikiran Calvin.
"Tak ada yang perlu dimaafkan." Abi Assegaf berbisik lembut, mengusap kening Adica yang dibanjiri keringat dingin.
Honda Jazz merah itu menepi di sebuah rumah sederhana bercat kelabu. Indahnya langit sore menjelang petang itu kontras dengan suasana hati Abi Assegaf. Hatinya kelam oleh kecemasan. Cemas pada sosok tampan yang tersandar lemah di mobilnya dalam kondisi setengah sadar.
Sadar kondisi penyiar kesayangannya terlalu lemah, Abi Assegaf bertindak cepat. Diangkatnya tubuh Adica ke dalam rumah. Roda usia boleh saja melaju, tetapi kekuatan belum menyusut. Hati-hati dibaringkannya tubuh tinggi semampai itu di ranjang.
"Papa..." Adica menyebut Papanya tanpa sadar. Sesekali diiringi erangan.
Tergetar hati Abi Assegaf. Ya, Allah, pemuda ini sungguh tak berdaya. Ia sakit, ia lelah jiwa-raga. Lembut dielus-elusnya kening dan rambut Adica, ia biarkan rasa panas mengaliri telapak tangan.
"Aku di sini, anakku. Istirahatlah...aku di sini."
"Papa, maafkan aku. Aku mengecewakan Papa di akhir hidup..."