Mengabaikan protes Adica, Abi Assegaf memapahnya ke mobil. Ia melajukan mobil ke rumah sakit.
** Â Â Â
Katakanlah pemberian obat sedatif itu tak berhasil. Calvin terbaring di ranjang putih. Kondisinya setengah sadar. Sumsum tulang belakangnya diambil. Semacam prosedur bone marrow puncture.
Sakitnya luar biasa. Malaikat tampan bermata sipit itu berteriak kesakitan. Tubuhnya tak kuat menahan rasa sakit. Kemoterapi saja sudah menyakitkan, apa lagi ini.
Tuan Effendi menggenggam erat tangan Calvin. Kedua matanya berkaca-kaca. Dalam hati, ia terus mendaraskan doa. Memohon kekuatan untuk anak semata wayangnya.
"Kamu harus kuat, Sayang...ada Papa di sini. Cepat sembuh, Sayang. Kalau kamu sudah sembuh, kita bisa menulis lagi sama-sama...kita bisa ngeblog lagi. Be strong, Dear."
Bulu mata Calvin yang lentik bergerak. Matanya sedikit terbuka. Dapat ia lihat wajah Papanya yang berselimut kesedihan. Ruangan putih, sosok putih Dokter Tian yang terlihat menahan kedukaan di tengah profesionalitas, dan suster-suster berwajah datar. Di tengah rasa sakitnya, Calvin merasakan ironi. Mengapa ia membuat orang-orang yang dicintainya bersedih? Mengapa dia lagi-lagi menyusahkan mereka? Calvin tak mau, tak mau ada air mata lagi.
Demi Calvin, Tuan Effendi membatalkan jadwal meeting dengan relasi bisnisnya. Ia cancel pula sejumlah agenda seminar motivasi di beberapa kota. Mana mungkin ia meninggalkan Calvin melawan penyakitnya sendirian? Calvin Wan, permata hatinya. Calvin Wan yang disinyalir publik sangat mirip Tuan Effendi.
Derap langkah dua pasang kaki terdengar di luar ruangan. Terlihat sesosok pria setinggi 180 senti dengan rambut pirang dan mata biru melangkah tergesa. Gadis cantik bermata biru yang sangat mirip dengan mata pria itu, berjalan di sampingnya.
"Oh Revan, aku tak tega!" desah Silvi, bola matanya berawan.
"Kaupikir aku tega? Tidak. Ayo, Silvi. Calvin butuh kita."