Paviliun rumah sakit seperti rumah kedua baginya. Berbulan-bulan ini dia terbaring di sana, menggantungkan hidup dari peralatan medis. Sakit ada untuk menghargai nikmat sehat.
Nikmat sehat? Mengingat itu, Calvin merasa miris. Sudah lama tak ia rasakan nikmat sehat. Tubuhnya dipaksa menerima penyakit itu. Sakit yang menggerogoti ginjalnya.
Sepasang mata sipit bening itu terhujam ke langit-langit putih. Hampa, pilu, dan muram. Calvin lelah, lelah menanti keajaiban untuk sembuh. Namun, ia masih percaya. Allah selalu ada untuk orang-orang sakit, sedih, dan kesepian.
Allah ada dimana-mana. Ia ada di antara pusaran kesedihan dan kebahagiaan hambaNya. Jika kesepian, berdoalah padaNya. Allah akan memeluk hati yang sedih, sakit, dan kesepian.
Pria tampan orientalis itu mengangkat kedua tangan. Pelan mengusapkannya ke wajah. Bertayamum, lalu shalat. Sepertiga malam bukannya ia habiskan dengan tidur, melainkan dengan Tahajud.
Ruang putih itu menjadi saksi Tahajudnya malaikat tampan bermata sipit. Malaikat tampan bermata sipit, panggilan dari orang-orang yang pernah ditolongnya. Tidak, Calvin tidak boleh sengaja mengingat kebaikan. Sengaja mengingat-ingat kebaikan hanya mengurangi keikhlasan.
Kembali difokuskannya pikiran pada komunikasi denganNya. Calvin berdiskusi dengan Allah, melobiNya. Ia memohon penyakit itu diangkat, memohon kesepian ini terhapus.
Ketika tubuh sehat, mungkin kesepian tak begitu mengganggu. Saat sakit, dampak kesepian terasa sangat kuat. Hidup sendiri di kala sakit itu susah. Tak ada yang memperhatikan, merawat, dan memotivasi untuk sembuh. Apa-apa harus dijalani sendirian. Cuci darah sendirian, demam akibat efek samping cuci darah sendirian, berada di titik kritis akibat sepsis/keracunan darah pun sendirian.
Bagaimana pria setampan dan sebaik Calvin bisa kesepian? Itu semua karena keteguhan pilihannya untuk hidup tanpa menikah. Demi Allah penguasa langit dan bumi, banyak wanita yang mendambanya. Namun, Calvin Wan memilih sendiri.
Dan...voilet, beginilah konsekuensinya. Konsekuensi terpahit dari kesendirian dirasakan saat sakit. Akan tetapi, apakah Calvin benar-benar sendiri?
** Â Â Â
Menjelang pagi, pemuda berjas rapi itu datang lagi. Ia menyapa Calvin, duduk di samping ranjangnya, lalu meletakkan biola. Ya, pemuda berjas rapi dan berparas oriental itu selalu membawa biola tiap kali datang ke rumah sakit.
Katakanlah pemuda itu mirip Calvin. Hanya saja, dalam versi lebih muda. Setiap pagi ia datang ke rumah sakit. Lihatlah apa yang dilakukannya.
"Hari ini Anda mau pakai jas yang mana, Pak Calvin?" tanya pemuda itu seraya membuka pintu lemari pakaian. Memilih-milih koleksi jas yang begitu banyak. Calvin enggan mengenakan pakaian rumah sakit. Dia lebih cinta jas mahalnya.
Setelah menemukan jas yang dimaksud, pemuda itu memeras kain washlap di sebuah baskom penuh berisi air hangat. Ia menyeka tubuh Calvin sampai bersih. Dipakaikannya jas ke tubuh pria berusia mendekati separuh baya namun masih terlihat rupawan itu.
"Nah, selesai..." Pemuda itu tersenyum kecil. Senang bisa membantu.
Menit berikutnya, ia menyuapi Calvin dan membantunya minum obat. Semua itu dilakukannya dengan sabar. Meski beberapa kali Calvin memuntahkan obatnya.
"Terima kasih..." kata Calvin lirih, sangat lirih.
"Tak perlu berterima kasih." Si pemuda menepis halus.
Sejurus kemudian, pemuda itu memainkan biola. Ia bernyanyi dan bermain biola, berusaha menghapus duka di hati Calvin dengan caranya.
Jangan biarkan damai ini pergi
Jangan biarkan semuanya berlalu
Hanya padaMu Tuhan
Tempatku berteduh dari semua kepalsuan dunia (Chrisye-Damai BersamaMu).
Tergetar hati Calvin mendengarnya. Ya, Allah, siapakah sebenarnya pemuda ini? Tiap pagi ia selalu datang ke rumah sakit. Memandikan, menyuapi, meminumkan obat, dan menghiburnya.
Calvin menangis. Hidungnya berdarah. Dengan lembut, pemuda itu mengusap bersih darah dari hidungnya. Bertanya apakah Calvin baik-baik saja?
"Perlukah saya panggilkan dokter? Oh...atau Anda ingin menulis? Biar saya ketikkan. Saya dengar, Anda blogger yang tetap produktif kendati sakit ginjal."
"Tidak, tidak perlu. Saya masih kuat menulis sendiri. Siapa kamu sebenarnya? Mengapa kamu begitu baik pada saya?"
Pemuda itu menghela napas. Menimbang-nimbang, inikah saatnya?
"Apakah Anda masih ingat kematian pengusaha Michael Wirawan?" ujar si pemuda, malah balik bertanya. Disambuti anggukan Calvin. Kematian relasi bisnisnya itu sudah lama sekali.
"Ingatkah Anda pada anak kecil yang menangis paling keras saat pemakaman? Waktu itu, Anda memeluknya dan memberinya coklat."
Pemuda itu bangkit, lalu memegang tangan Calvin. "Saya Adica Wirawan, anak malang yang pernah Anda peluk dan Anda beri coklat di puncak kesedihan. Hangatnya pelukan Anda dan manisnya coklat masih terasa hingga kini. Dua pemberian Andalah yang menguatkan saya. Membuat saya tegar dan bertahan menjalani kerasnya hidup."
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H