Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Sadis

21 September 2018   06:00 Diperbarui: 21 September 2018   07:43 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepulangan Calvin tertunda cukup lama. Kondisi kesehatannya tak juga membaik. Membuatnya tertahan di tempat yang tak pernah ia harapkan.

Jika bisa memilih, Calvin lebih senang mengingat prosesi umrahnya dibandingkan perawatan intensif di rumah sakit. Saat-saat di rumah sakit sungguh tak enak. Berulang kali Calvin harus menahan diri untuk tidak kabur dari gedung serba putih penuh peralatan medis dan obat-obatan itu.

Kini, iaa sudah kembali. Kembali ke tanah air pertamanya. Terbebas dari penjara beraroma obat bernama rumah sakit. Tapi untuk sementara, bukan selamanya.

Setiba di Indonesia, tempat pertama yang didatangi Calvin adalah villa putih di utara sana. Bukan ke rumah tiga lantai di lereng bukit. Bukan, sama sekali bukan karena ia tak rindu Silvi. Namun, ada tanggung jawab lain yang menunggunya di villa putih.

"Carol...Papa-Vin pulang!" teriak Thalita, matanya berbinar bahagia.

Terdengar bunyi benda berat jatuh dari dalam villa. Carol bergegas keluar diikuti Stevent. Langsung saja ketiga anak kecil itu berebut memeluk Calvin. Melempar rindu tanpa ragu.

"Papa-Vin, Carol kangen...udah lama Carol nggak digendong Papa-Vin." rajuk Carol manja.

Calvin tertawa kecil. Lembut mengusap rambut panjang keponakan cantiknya.

"Iya, Sayang. Papa-Vin juga kangen. Oh ya, Papa-Vin bawa sesuatu."

Tiga paper bag berukuran besar dibuka. Isinya kurma, henna, parfum, sajadah, gantungan kunci, dan tasbih. Tiap kali bepergian ke luar kota atau ke luar negeri, Calvin tak pernah melupakan orang-orang terkasihnya di tanah air.

"Wow, makasih Papa-Vin. Gantungan kuncinya boleh buat Thalita, kan?" Thalita berkata riang, memegangi gantungan kunci yang disukainya.

"Boleh, Sayang. Itu buat Thalita..."

"Wah, ada yang baru pulangkah? Maaf ya, tadi Suster Doa Angelus dulu."

Suster Adinda muncul dari dalam villa. Sebelah tangannya menyelipkan Rosario ke dalam sakunya. Ia tersenyum pada Calvin. Doa Angelus, atau Doa Malaikat Tuhan. Doa singkat yang dilakukan tiap jam 6 pagi, jam 12 siang, dan jam 6 sore.

"Nggak apa-apa, Suster. Ini, Papa-Vin bawa oleh-oleh banyak banget." Carol menyahuti.

Diasuh tiga orang tua berbeda membuat Thalita, Carol, dan Stevent terbiasa bertoleransi. Mereka sudah mengenal keragaman sejak dini. Ketiganya tahu, di antara orang tua yang mengasuh mereka, ada yang Non-Muslim. Dan mereka menghargai itu.

Sesaat Suster Adinda terdiam ragu. Ia segan menerima kurma yang ditawarkan Thalita. Calvin membaca keraguan di mata wanita itu.

"Kenapa, Suster? Tidak apa-apa...ambil dan makanlah itu." ujar Calvin lembut.

"Saya Non-Muslim. Agak tak enak saja menerima oleh-oleh dari tanah suci...merasa tak pantas."

Tanpa diduga, Stevent memajukan kursi roda. Mengambil tiga buah kurma dari dalam kotak. Lalu, diraihnya tangan Suster Adinda. Ia letakkan kurma-kurma itu di tangan sang Suster.

"Ini buat Suster. Stevent mau makan kurma sama Suster Adinda. Kan Suster sendiri yang bilang, kita semua sama."

Tergetar hati Suster Adinda mendengarnya. Hati Calvin ikut bergetar. Bila diucapkan orang dewasa, mungkin tak begitu berefek. Tapi, ini diucapkan anak kecil. Anak-anak yang masih polos, lembut dan putih hatinya.

"Terima kasih, Sayang."

"Good boy. Stevent anak baik."

Suster Adinda berterima kasih. Calvin membungkuk, memeluk dan mencium kening Stevent.

Momen manis itu terurai oleh deru mobil. Rush biru gelap milik Revan meluncur masuk, diikuti sedan merah Dokter Tian. Melihat siapa yang datang, mereka bergegas turun dari mobil. Bisa dibayangkan apa yang terjadi. Tiga pria beda etnis berpelukan hangat.

"Akhirnya kamu pulang juga, Calvin." kata Dokter Tian.

Mata biru pucat Revan menghujam pandangan Calvin. Pelan ia bicara.

"Kamu jangan khawatir soal Calisa."

"Apa maksudmu?"

"Kurasa, kembali pada Silvi dan memurnikan hatimu adalah jalan yang tepat."

**     

Menjelang senja, Calvin baru kembali ke rumah mewah di lereng bukit. Rindunya pada Silvi tak bisa ditawar lagi. Selama umrah, Calvin memang jarang sekali berkomunikasi dengan Silvi.

Sambutan hangat didapatnya dari sembilan pekerja di rumah. Sepasang mata sipit di balik kacamatanya bergulir ke sekeliling ruang tamu dan koridor, mencari-cari sang istri.

"Mencariku, Calvin Sayang? Aku di sini, malaikatku..."

Sebuah suara sopran menyapa, diikuti wangi parfum Escada The Moon Sparkel. Sepasang tangan halus merangkul pinggangnya mesra. Calvin tertegun. Silvi berdiri di sisinya. Nampak cantik, fresh, dan ceria. Rambutnya terkuncir rapi. Gaun rumah berwarna marun dan ikat rambut berbentuk tulip mempermanis penampilannya.

Keduanya berpelukan. Tak ragu, Calvin mendaratkan fast kissnya. Sukses membuat wajah Silvi merona merah. Kesembilan pegawai di rumah besar tahu diri. Mereka melangkah mundur. Diam-diam senang karena tuan dan nyonya mereka kembali mesra.

"Aku merindukanmu, malaikatku..." desah Silvi.

"Aku juga. Semuanya baik-baik saja kan, selama aku pergi?"

"Ya. Dan...aku ingin menunjukkan kabar gembira untukmu."

Tanpa menunggu respon, Silvi menggamit tangan Calvin ke kamar utama. Sebuah kamar tidur bernuansa broken white dilengkapi televisi plasma, ranjang queen size, grand piano, dan perabotan mewah lainnya. Dengan anggun, Silvi duduk di ranjang. Menggeser sebentuk kotak berlapis beludru merah ke dekatnya.

"Apa itu, Sayang?" tanya Calvin ingin tahu.

"Penyakit gampang penasaranmu belum sembuh ya. Sana, mandi dulu. Pakaianmu sudah kusiapkan."

Mendengar perkataan istrinya, Calvin makin terkejut. Silvi menyiapkan baju untuknya? Sudah setahun lebih dia tak melakukan itu.

Dengan sabar, Silvi menunggu. Samar didengarnya desir air pada shower dari dalam kamar mandi. Sekali-dua kali dia bercermin. Memastikan penampilannya sempurna. Tangan kirinya mendarat tepat di perutnya, mengelus lembut.

Satu jam berselang, Calvin dan Silvi duduk bersisian di sofa. AC telah dinyalakan. Layar televisi menghitam sejenak, lalu menghamburkan gambar-gambar. Rupanya sebuah video.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Calvin serasa familiar dengan dua sosok yang tengah bersepeda di dalam video itu. Ya, ia sangat, sangat mengenalnya.

"Kau tahu siapa mereka?" Silvi mengeluarkan bisikan mautnya.

Tubuh Calvin menegang. Tangannya gemetar hebat. Pelan-pelan dilepasnya kacamata. Dibersihkan, lalu dikenakannya lagi. Benar, dia tak keliru.

"Silvi, jelaskan padaku..." desis Calvin, menatap nanar video itu.

Bukannya takut, Silvi malah tertawa. Ia beralih pada kotak bertutup kain beludru di pangkuan. Dalam gerakan dramatis, dibukanya tutup kotak. Sebentuk benda persegi tergeletak nyaman di dasar kotak.

Ditingkahi senyum penuh kemenangan, Silvi mengangkat benda persegi itu. Dua garis merah terlihat. Calvin terbelalak. Ya, Allah, apa lagi ini?

"Ini hasilnya, Sayang. Hasil dari selingkuh fisik dengan Adica..." Silvi tersenyum sensual.

"Kamu..."

"Ya, siapa bilang Nyonya Silvi tak bisa berselingkuh? Suamiku saja bisa berselingkuh hati, aku pun bisa berselingkuh fisik."

Hati Calvin dibanjiri rasa dingin. Dingin yang mematikan. Ia tertunduk dalam, wajahnya pucat pasi seolah aliran darahnya telah terhenti.

"Kamu ini suami tak berguna, Calvin. Tapi, aku masih bertoleransi. Kalau tidak, sudah kuceraikan kamu dari dulu." ucap Silvi tajam.

Marahkah Calvin? Tentu saja. Tapi, kesedihan menggumpal lebih besar dari kemarahan.

"Ingatkah kau apa yang telah kita lakukan?" bisik Calvin, tangannya terkepal erat.

"Kita sudah menikah, Silvi. Lalu, kau mendapatkan anak dari pria lain. Pria yang..."

"Pria yang kausia-siakan, pria yang kaupisahkan dari almarhumah istri dan anak-anaknya."

Selingkuh hati berbalas selingkuh fisik. Sungguh sadis. Sesungguhnya, Calvin dan Silvi tengah saling menyakiti.

"Kau sadis, Silvi..." lirih Calvin.

Menahan amarah, Silvi membanting test packnya dan berteriak. "Lebih sadis mana, kau atau aku?!"

"Kau yang lebih sadis, Silvi! Kau sadis padaku, sadis pada Adica!" Calvin balas berteriak. Sungguh, baru kali ini Calvin meneriaki Silvi. Sebelumnya, menaikkan nada suara seoktaf pun tak pernah.

"Aku dan Adica sama-sama memuluskan jalan untuk balas dendam padamu!"

"Aku memang infertil, Silvi! Tapi, bukan begini caranya!"

Keduanya bertengkar. Saling menyalahkan, saling menyakiti. Calvin terluka, sungguh terluka. Hatinya hancur mendapati kenyataan ini.

Mengapa Silvi membalasnya begitu sadis? Mengapa harus Adica? Mengapa semua ini harus terjadi?

Tak tahan terus mempertengkarkan selingkuh hati dibalas selingkuh fisik, Silvi bergegas pergi. Meninggalkan Calvin sendirian terpagut kepedihan.

Galau luar biasa, Calvin mengempaskan diri di kursi piano. Jari-jari lentiknya menari lincah, lalu bernyanyi seirama musik.


Terlalu sadis caramu

Menjadikan diriku pelampiasan cintamu

Agar dia kembali

Tanpa peduli sakitnya aku

Tega niannya caramu

Menyingkirkan diriku dari percintaan ini

Agar dia kembali padamu

Tanpa peduli sakitnya aku

Semoga Tuhan membalas semua yang terjadi

Kepadaku suatu saat nanti

Hingga kausadari sesungguhnya yang kaupunya

Hanya aku tempatmu kembali

Sebagai cintamu

Hanya aku tempatmu kembali

Semoga Tuhan membalas semua yang terjadi

Kepadaku suatu saat nanti

Hingga kausadari sesungguhnya yang kaupunya

Hanya aku tempatmu kembali

Hingga kausadari sesungguhnya yang kaupunya

Hanya aku

Sebagai cintamu (Afgan-Sadis).

Dua titik bening bergulir dari mata Calvin. Demi Allah, baru kali pertama Calvin bermain piano dengan penuh emosi. Calvin yang biasanya tenang, lembut, dan tegar, kini dikuasai emosinya sendiri.

Perasaan tak berguna kembali menyergap. Dirinya memang lelaki tak berguna. Meneruskan keturunan saja tidak mampu. Sampai-sampai wanita pendamping hidupnya melompat ke pelukan pria lain.

Pedih, pedih sekali hatinya. Kepedihan bisa membunuh perlahan. Calvin semestinya memahami.

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun