"Aku pengen main biola sebagus Kak Adica." kata seorang anak perempuan berambut pendek penuh kesungguhan.
Adica tersenyum simpatik. Mengelus rambut anak itu. "Kamu pasti bisa..."
Tak hanya mengajar musik, dia pun memberikan energi positif. Anak-anak itu diberinya motivasi untuk terus berjuang menggapai bintang. Ia menganalogikan bintang di langit sebagai mimpi, harapan, dan cita-cita. Adica menjadi guru biola idola para murid di sekolah khusus anak terlantar.
Azan Zuhur menjadi tanda berakhirnya pelajaran hari itu. Dengan sabar, Adica membimbing murid-muridnya shalat di mushala kecil yang dibuat pihak yayasan tempatnya bekerja. Menjadi guru untuk anak jalanan dan terlantar sama artinya dengan menjadi orang tua, Imam, dan sahabat mereka.
Sengaja ia berlama-lama dalam sujudnya. Menikmati kemesraan dengan Tuhan. Kalau tak bisa bermesraan dengan manusia, bermesraan dengan Tuhan sudah cukup. Sebanyak mungkin Adica memohon ampun dalam shalatnya.
"Ya, Rabb, mungkin aku tak bisa berdoa di tanah suci seperti kebanyakan Muslim kaya dan high class itu. Kumohon terimalah doaku, Ya Allah. Terimalah doaku dari mushala sederhana ini..."
Seketika Adica teringat Calvin. Orang yang paling dibencinya. Ironis, orang yang menerima begitu banyak kekayaan, kenikmatan, dan kemudahan hidup. Bila banyak orang menganggap Calvin seperti malaikat, Adica tidak begitu. Calvin bukan malaikat. Di matanya, Calvin hanyalah manusia jahat yang membuatnya tersingkir. Membuatnya terpisah dari almarhumah istri dan anak-anaknya sendiri.
Gegara Calvin, Adica terlempar ke dunia yang termarginalkan. Ia harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidup. Menjadi jurnalis part time di media online, pekerja sosial di yayasan, tallent performer di taman wisata, buzzer, sampai bodyguard orang-orang kaya pernah ditekuninya. Ia menjalani hidup yang keras karena Calvin.
"Ya, Allah, ampuni aku. Ampuni aku karena masih kusimpan dendam di hatiku. Mungkin aku akan banyak mengecewakanMu lagi..."
Doanya menjadi lebih panjang dari biasa. Begitu pula zikirnya. Puas mengadu pada yang berkedudukan di langit ketujuh, Adica mengeluarkan lembar-lembar koran edisi hari ini dari tas biolanya. Lembaran koran ia kumpulkan pagi tadi. Ada iklan yang sangat menarik.
Iklan penjualan rumah? Bukan. Itu sama sekali tak menarik baginya. Dalam situasi seperti ini, mana bisa ia membeli rumah?