"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Calisa." Calvin menenangkan, mengusap rambut Calisa.
"Sungguh aku takut, Calvin..."
Kali kedua malam itu, Calvin mendekap Calisa. Berharap ketakutan Calisa berpindah padanya. Nostalgia lagi. Ini seperti pelukannya untuk Silvi. Pelukan ketika Silvi menghadapi masa-masa terberat.
Beberapa meter dari Limousine, sebuah sepeda balap meluncur mengikuti. Hanya pria sakit jiwa yang bersepeda tengah malam bersuhu dingin begini. Meski tertuduh sakit jiwa, pria itu sangat tampan. Ia memiliki wajah oriental dan mata sipit. Sekilas mirip dengan Calvin. Hanya saja, kulitnya sedikit lebih putih. Raut wajahnya lebih tegas dan ia tak se-gallant Calvin. Beberapa bekas luka nampak di kedua pipinya. Pertanda pria itu kuat dan tak segan berkelahi untuk mempertahankan hidup.
Kemeja abu-abunya sederhana saja. Tanpa merk. Namun, ia tetap memikat dalam gayanya. Sepeda balap hanya salah satu properti. Masih ada properti lain dalam genggaman: kamera mirrorless.
Dengan cekatan, pria orientalis itu membidikkan kamera. Menekan tombol shutter berkali-kali. Lincah ia memotret sambil bersepeda. Anglenya bagus pula. Minim kesalahan. Fokus, tidak blur. Puas dengan hasil kerjanya, pria itu tersenyum sadis.
"First step..." ucapnya.
"Rasakan akibatnya, Calvin Wan. Kau takkan menang melawan Adica Wirawan. Sebentar lagi, kau pasti hancur. Langkah kedua: meracuni pikiran Tendean. Ok, ok, aku tahu apa yang harus kulakukan."
Pancaran dendam membayang di mata pria itu. Mata yang menuntut pembalasan, menuntut penebusan.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H