"Pretty good. Sekali lagi, aku harus berterima kasih padamu, Calvin."
Keduanya berpelukan. Saling melingkarkan lengan. Melukis malam dengan kemesraan.
Pelukan hangat Calvin-Calisa sukses membangkitkan tanya di hati supir pribadi. Otak kritisnya tak mampu menerima ketika tangan tuan mudanya dipegang wanita lain. Bukan, bukan tangan wanita itu yang berhak memegang tangan Tuan Calvin. Hanya Nyonya Silvi yang boleh menyentuhnya. Akan tetapi, supir tetaplah supir. Hierarki mencegahnya memuntahkan komplain.
Limousine terus melaju. Detik demi detik mereka nikmati. Calvin sempurna melekatkan hatinya dengan Calisa. Entah lupa, entah sengaja menjauhkan hati dari jangkauan Silvi.
"Anyway, kenapa kamu dipanggil malaikat tampan bermata sipit?" Calisa kembali angkat bicara.
"Good question. Itu karena aku beberapa kali menyelamatkan hidup istriku."
Melihat raut wajah bingung Calisa, Calvin meneruskan. "Aku kenal Silvi dari persahabatanku dengan Revan. Dulu, Silvi gadis rapuh dan kesepian. Dia tertekan karena banyak masalah dalam hidupnya. Silvi sering melukai dirinya sendiri. Beberapa kali dia ingin bunuh diri, tapi kucegah. Well, aku mencintainya. Lalu kunikahi dia."
Saat mengucapkan dua kalimat terakhir, sakit menusuk hati Calvin. Bila dia mencintai Silvi, mengapa malam ini bersama wanita lain?
Sakit yang sama, menusuk hati Calisa. Masih dilihatnya pancaran cinta di wajah teduh oriental itu ketika menyebut nama Silvi. Apa haknya cemburu? Cinta, terkadang bisa merumitkan hati.
"Enough about me. How about you?"
Pertanyaan Calvin mengembalikan atensinya. Calisa menghela nafas, menatap pria yang haram dimilikinya itu.