Walaupun merasa tidak nyaman di Kompasiana, belakangan ini Young Lady cantik lagi senang-senangnya menulis fiksi cantik. Menulis fiksi cantik menjadi kesenangan Young Lady. Saluran ekspresi diri yang paling bebas dan menyenangkan.
Tapi sayangnya, di tengah kesenangan menulis fiksi cantik, dua hari lalu ada gangguan. Gangguan dari siapa ituuuu? Ternyata dari haters. Yah, ini pasti tak jauh-jauh dari politik.
Haters itu berkomentar negatif di fiksi cantik buatan Young Lady cantik. Ia mengomentari tentang tokoh-tokoh rupawan yang cantik/ganteng dan berkulit putih. Kalau hanya mengandalkan rupawan saja, nilainya begitu rendah. Itu katanya. Langsung saja Young Lady hapus komentar itu. Komentar haters, merusak pemandangan saja. Lebih baik delete, beres.
Lama-kelamaan Young Lady cantik jadi tergelitik ingin membahasnya. Benarkah kehadiran tokoh-tokoh rupawan itu salah?
Totally wrong. So what? Memangnya kenapa kalau Young Lady menghadirkan tokoh-tokoh berparas rupawan dalam cerita? Salahkah, seperti lagunya Tompi? Young Lady yang nulis, kok haters yang ribut.
Dari dulu, Young Lady memang suka mengangkat dan menghadirkan tokoh-tokoh berwajah rupawan dalam cerita. Menghadirkan tokoh yang cantik/tampan merupakan bagian dari menulis cantik. Prinsip Young Lady: lebih baik menghadirkan tokoh-tokoh rupawan dari pada tokoh-tokoh jelek dalam cerita.
Well, sepertinya Young Lady sudah pernah beberapa kali menulis proses kreatif Young Lady dalam menulis fiksi cantik. Tentang terinspirasi dari orang-orang tertentu dan terpilih, tentang track record, dan semacamnya.Â
Tak perlu lagi dijelaskan di sini. Karena buat Young Lady, memilih sosok inspiratif untuk dijadikan tokoh cerita sama seperti memilih pasangan hidup. Rumit, kompleks, dan penuh pertimbangan. Harus ada kemistrinya juga. Young Lady kan pemilih. Perfeksionis pula.
Lalu, kenapa kalau Young Lady mengedepankan masalah kerupawanan dalam karakterisasi tokoh cerita? Memang tokoh-tokohnya cantik/tampan kok. Kalau tidak rupawan secara fisik, ia rupawan dari hati. Banyak pula yang rupawan secara lahir dan batin.
Sedikit-banyak Young Lady terinspirasi dari ajang pageants. Mereka memilih finalisnya dengan mengandalkan kriteria: brain, beauty, behavior. Nah, seperti itu juga cara Young Lady memilih sosok inspiratif untuk dijadikan tokoh cerita. Lihat dulu beautynya, lalu brain dan behaviornya. Gabungkan, seberapa pantaskah...seperti lagunya GAC...seberapa pantaskah mereka untuk menginspirasi?
Ada saat-saat ketika "Calvin Wan" sendiri tak tahu mengapa dirinya bisa terpilih untuk menginspirasi? Pertanyaan dan keraguan yang sangat rendah hati dari sang tokoh utama. Toh memang sosoknya menginspirasi. "Calvin Wan" memenuhi apa yang Young Lady cari.Â
Young Lady punya alasan kuat untuk mempertahankannya selama lebih dari setahun. J. K. Rowling saja punya Harry Potter, J. R. R. Tolkien punya Frodo, Hilman Hariwijaya punya Lupus, Gola Gong punya Roy, Masashi Kishimoto punya Naruto, Young Lady boleh dong punya "Calvin Wan"? Hanya saja, ada berbagai proses kreatif untuk menemukan mereka sebagai tokoh dengan ciri khas dan inspiratif.
Back to focus. Menghadirkan tokoh-tokoh berwajah rupawan dalam cerita bukanlah kesalahan. Itu adalah hak prerogatif penulis.
Tokoh-tokoh rupawan justru memperindah cerita. Dari pada tokoh-tokoh yang biasa saja, atau bahkan buruk. Lebih baik menghadirkan mereka yang digambarkan rupawan dalam cerita.
Jangan pandang tokoh-tokoh rupawan hanya dijadikan penghias. Jangan lihat mereka hanya menarik sebagai objek seksual karena kerupawanan wajah dan postur tubuh mereka. Mereka hadir untuk membuat cerita lebih indah.
Dalam novel populer, tokoh-tokoh pria dan wanita yang rupawan sangat digemari. Mereka jadi populer karena kerupawanan mereka. Lihat saja novel-novel metropop dan chicklit. Tokoh utamanya kebanyakan rupawan, kan? Eits, rupawan tidak hanya sebatas fisik saja, tetapi juga dari sifat dan tingkah laku.
Ok fine, penyuka novel serius pasti takkan suka dengan tokoh jenis ini. Rata-rata novel serius didominasi tokoh yang tidak terlalu rupawan, biasa-biasa saja, bahkan jelek. Tokoh yang digambarkan jelek pun bisa menjadi tokoh utama.
Namun, bila kita membicarakan karya fiksi dalam fungsinya untuk menghibur/entertaining, kehadiran tokoh-tokoh berparas rupawan menjadi poin plus. Mereka menghiasi cerita dengan indah. Banyak orang membaca karya fiksi sebagai sarana hiburan, ajang menghibur diri. Nah, bagaimana mereka akan terhibur kalau dari awal saja sudah diperkenalkan dengan tokoh-tokoh yang jelek? Bukannya disuguhi yang indah-indah, mereka terpaksa mencicipi cerita rasa tokoh jelek. Kan tidak indah. Bagaimana mau terhibur coba?
Keberadaan tokoh-tokoh berwajah dan berhati rupawan berkaitan erat dengan estetika. Menurut Young Lady, penggambaran tokoh dengan wajah rupawan menambah nilai estetis cerita. Menambah kesan indah, menenangkan, dan menyejukkan dalam cerita. Pembaca akan terhibur menemukan tokoh-tokoh berparas cantik jelita dan tampan memesona dalam karya fiksi. Tokoh berwajah rupawan pun mampu membuat hati para pembaca meleleh. So, tak ada salahnya menampilkan tokoh-tokoh rupawan dalam prosa. Kompasianers, kalian lebih suka membaca cerita dengan tokoh-tokoh rupawan atau sebaliknya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H