Percayalah, air mata Evita tak selalu berarti air mata kesedihan. Itu pun air mata bahagia, air mata haru.
"Keluargamu sadar, hanya aku wanita yang paling dekat denganmu sepanjang hidup. Dan mereka pun paham, kau tak pernah mengikatku dalam pernikahan karena takut kondisimu akan membuatku kecewa. Kau tidak pernah mengecewakanku, Calvin. Meski penyakit katastropik dan obat-obatan itu membuatmu mandul. Calvin, kau tetap sempurna di hatiku."
Kata-kata itu terucap penuh cinta. Takutkah Evita ditinggal berdua dengan mayat? Ternyata tidak. Ia justru bahagia punya waktu bersama Calvin.
Perlahan Evita berbalik ke cermin. Perfect, bisik hati kecilnya. Gaun merah itu begitu pas di tubuhnya. Riasan wajahnya sedikit rusak, namun tak mengurangi kecantikannya. Hairpiece berformat hati dan bertatahkan mutiara menghiasi rambut Evita.
Istri yang baik adalah istri yang memperlihatkan perhiasannya hanya untuk suaminya. Evita tampil secantik ini semata untuk Calvin. Hatinya telah mantap. Ini keputusannya, ini pilihan hidupnya.
Masih terekam jelas di benaknya saat Erika dan Elenna, kedua sepupu Kaukasiannya itu, melarang Evita menjadi Minghun. Bahkan Erika sempat memaki Evita tak punya harga diri. Tapi Evita mengabaikannya. Dia bertahan pada keputusannya.
Selesai bercermin, Evita melangkah anggun ke depan grand piano. Dibukanya kain putih pelapis piano. Kesepuluh jarinya menari lincah di atas tuts hitam-putih.
Bagaimana harus kulupakan semua
Saat hati memanggil namamu
Apa harus kurelakan kenyataan
Kita memang tak sejalan