Tertangkap nada putus asa dalam suara wanitanya. Wanita yang ia cinta hampir separuh hidup. Wanita yang kenangan-kenangannya menghiasi setengah lembaran buku hidup Calvin Wan.
Lima menit kemudian, Calvin merasa tubuhnya digerakkan oleh magnet. Ia tak tahu mengapa kedua kakinya bisa melangkah secepat itu. Mengapa sedan putihnya ia kemudikan sekencang itu. Satu hal yang pasti: Evita dan Rossie membutuhkannya.
Jarak perusahaannya dengan rumah Evita tak begitu jauh. Calvin tiba cukup cepat. Ia turun dari mobil dengan tergesa, disambuti tatapan penasaran tukang kebun dan asisten rumah tangga.
"Akhirnya kau datang juga, Calvin. Masuklah. Langsung saja ke kamar Rossie." Evita menyambutnya hangat. Membuat rasa khawatir di dada Calvin perlahan lesap.
Selangkah demi selangkah dia naiki anak tangga pualam. Di pertengahan tangga, didengarnya suara tangis Rossie. Refleks Calvin mempercepat langkah. Dalam hati ia mendaraskan doa. Semoga Little Princessnya baik-baik saja. Semoga Rossie segera terbebas dari kesedihan.
** Â Â Â
Calvin berlutut, menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu. Tangannya terulur. Lembut menghapus air mata Rossie.
"Mata Little Princess berhujan..." ucapnya lembut.
"Ayah Calvin harap, ini hujan yang terakhir. Setelahnya, hanya akan ada pelangi di mata Little Princess."
Rossie menggeleng kuat. Nanar ditatapnya buku-buku, kotak bekal, pensil, penghapus, dan buku gambar yang berserakan di karpet.
"Kenapa Rossie nggak mau sekolah?" Calvin mulai melancarkan jurusnya. Malaikat tampan bermata sipit itu tahu bagaimana cara membuka hati Rossiee.