"Ternyata kamu di sini?! Oh...bagus ya, bersama rival bisnisku yang baru! Bagus sekali, Dinda!"
Lelaki hitam dan bertubuh lebih besar dari Calvin itu, bertepuk tangan. Ia sama sekali tidak tampan. Kontras dengan Calvin yang berkulit putih dan berwajah oriental nan memikat. Ia tak lain Reno, lelaki yang menggoreskan luka pada Dinda hanya karena fanatismenya.
"Beginikah kelakuan istri salihah? Atau kau sudah berubah pikiran dan lebih memilih berzina?! Keterlaluan! Bukannya mendukung suamimu yang baru saja mencoba lini bisnis baru, sekarang kau malah berduaan dengan..."
"Cukup, Reno! Jangan sakiti Dinda lagi!" sela Calvin, tajam dan tegas.
Senyum sinis bermain di wajah lelaki yang rawan mengalami persona non grata-tidak disukai-itu. Ia sama sekali tidak bodoh. Bahkan Reno tahu kisah cinta Dinda dan Calvin setahun lalu.
"Mau mengulang sejarah lagi, Calvin Wan? Mau jadi perebut istri orang? Kaubuat sepupu dan adik angkatmu mati karena kaurebut istrinya!"
Tubuh Calvin serasa membeku. Tidak, sungguh tidak benar. Calvin bukan penyebab kematian Adica. Kenangan buruk berkejaran di memorinya. Adica salah paham. Kematian lagi. Silvi yang terus menyalahkan. Ini sangat, sangat menyakitkan. Ketika Calvin lengah...
Plak!
Tamparan demi tamparan menghujam pipi dan wajahnya. Calvin nyaris jatuh. Tanpa sadar ia lepas pelukan Dinda.
Lagi, ia tak bisa mencegah sosok yang dicintainya pergi dan terpedaya. Secepat kedatangannya, secepat itu pula Reno pergi membawa Dinda. Membawa lari wanita pelukis masa lalunya.
Hati kecil Calvin meneriakkan ketidakrelaan. Tidak, ia tidak bisa diam saja membiarkan semua kekejaman ini. Fanatisme telah banyak menggoreskan luka. Mula-mula api fanatisme melukai Dinda. Kini melukai Calvin. Pantaskah fanatisme dibiarkan begitu saja?