"Saya malah tambah sakit kalau istirahat terus." balas Calvin tenang.
Tak ada pilihan lain bagi si tukang kebun kecuali membiarkan tuan mudanya memotong rumput dan merawat bunga-bunga. Perlahan dia melangkah mundur, berbalik kembali ke kamarnya di belakang rumah.
Sementara itu, Calvin menyelesaikan pekerjaan memotong rumput yang tinggal sedikit lagi. Setelahnya ia langkahkan kakinya ke taman bunga yang berdekatan dengan air mancur.
Halaman rumah Calvin sangat luas. Baik halaman depan maupun belakang sama luasnya. Dulu, jalan setapaklah yang membatasi antara halaman depan dan belakang. Kini pembatasnya diganti dengan jembatan kayu dengan kolam ikan di kanan-kirinya. Sebelum pindah ke sini, Calvin sengaja meminta rumah utamanya direnovasi beberapa bagian. Ddemi menghilangkan kesedihannya karena terlarut dalam kenangan.
Asyik menyirami bunga lily, canna stripped beauty, aster, dan peperomia, Calvin dikagetkan oleh sesuatu yang ganjil. Sekilas pandangannya tertumbuk pada kutu-kutu putih yang menempel pada bunga-bunga mawarnya. Ternyata salah satu tanaman bunganya terkena penyakit. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan.
Blogger dan pengusaha retail itu berpikir sejenak. Mengingat-ingat lagi cara mengobati mawar yang terkena kutu putih. Bahkan ia letakkan penyiram bunganya dan berjalan ke depan air mancur. Calvin berpikir sambil mengulurkan tangannya ke bawah air mancur, merasakan kesejukan air menari-nari membasahi telapaknya.
"Eurekka!" serunya beberapa menit kemudian. Ia teringat sesuatu.
Cepat-cepat pria atletis itu ke pantry. Diambilnya air bekas cucian piring. Kembali lagi ke taman bunga, diberikannya air hasil bilasan terakhir itu untuk mawar-mawarnya. Wanita mana pun akan meleleh melihat Calvin saat ini. Calvin yang dikenal sebagai pengusaha sukses, selain penyayang anak-anak, ternyata juga mencintai keindahan. Pria yang suka merawat bunga, memiliki hati lembut dan kepedulian tinggi. Pada bunga saja ia bisa bertanggung jawab dan merawatnya dengan baik. Bagaimana pada wanita yang dicintainya?
Calvin sedikit membungkukkan tubuhnya untuk memberikan obat dan memeriksa kutu-kutu putih. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Tujuh detik. Sembilan detik, tetesan darah terjatuh ke atas kelopak bunga cantik itu. Refleks Calvin menyeka hidungnya. Darah terus menetes.
"Ya Tuhan, jangan sekarang..." lirihnya. Wajah tampannya berubah pias.
Tubuh tinggi itu nyaris limbung. Sakit menghantam punggung dan perut bagian bawahnya tanpa kompromi. Sakit ini hadir lagi saat Calvin benar-benar sendirian.