"Ada apa, Khrisna?" Calvin menanyainya ramah.
Khrisna menarik nafas panjang. Gamang menatap meja besar, seperangkat komputer lengkap dengan printer dan scanner, sofa empuk, dan tumpukan dokumen. Pria sederhana pekerja keras ini pun tak tahu mengapa dirinya bisa berada di sini. Satu hal yang ia rasakan: Calvin Wan orang yang bisa dipercaya.
"Anak saya kabur dari rumah..." desisnya.
Tenang, satu garis wajah yang ia usahakan tetap bertahan di wajah tampannya. Tetapi tetap saja, Calvin tak bisa menahan kekagetan.
"Hassan kabur? Kenapa?" tanya Calvin, nyaris tak percaya.
"Sepertinya dia marah pada saya. Saya memang ayah yang mengecewakan."
Wajah Khrisna tertunduk pasrah. Luka, luka hati seorang ayah tergambar nyata. Hati Calvin membisikkan empati. Ia juga pernah menjadi seorang ayah. Kini, nanti, dan selamanya, Calvin tetaplah seorang ayah. Status yang akan terus melekat dan tak terhapus lagi.
"Satu bulan lalu, saya menjanjikan iPhone untuknya kalau ia dapat ranking pertama. Dia membuktikan pada saya. Dia berhasil, bahkan jadi juara umum di sekolahnya. Tapi, saya gagal menepati janji. Uang yang seharusnya untuk membelikan iPhone saya gunakan untuk keperluan lain. Hassan kecewa, lalu malamnya dia kabur dari rumah."
Mendengar cerita Khrisna, Calvin terenyak. Ia tempatkan dirinya dalam posisi netral. Hassan tidak salah, Khrisna pun tidak. Pasti ada alasan tertentu yang mendasari ayah dan anak itu melakukan tindakan yang terpikir di benak mereka.
"Saya ikut bersimpati, Khrisna. Di sini saya tidak akan menyalahkan siapa pun." ujar Calvin.
Inilah hal pertama yang dicari Khrisna: motivasi penyejuk hati. Bukan raut wajah menyalahkan, justifikasi, atau tuduhan ingkar janji. Calvin memang orang yang tepat.