Tangan Silvi melayang ke atas meja. Gelas kristal, piring keramik, sendok, dan teko perak berjatuhan. Wajah cantiknya memerah karena marah. Safira bergerak ketakutan di kursinya.
Ini tak bisa dibiarkan. Dalam satu gerakan cepat, Calvin mengangkat tubuh Safira. Menggendongnya ke lantai atas. Sejurus kemudian ia kembali turun ke bawah menemui istrinya.
"Silvi, tolong jangan memperlihatkan momen pertengkaran di depan anak kita." bujuk Calvin sabar.
"Anak kita?! Kaubilang anak kita?! Anakmu sendiri saja sana! Kalau Safira anak kita, kau akan dengarkan laranganku! Calvin Wan, jangan pernah bawa Safira ke tempat itu!" teriak Silvi.
Tak takut mendengar teriakan istri cantik setengah bulenya, Calvin tetap sabar. Ia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Silvi. Sukses membuat darah wanita blasteran Jawa-Belanda-Turki itu berdesir.
"Silvi, percayalah. Safira akan kujaga dengan baik selama di sana. Lagi pula, apa salahnya membawa anak kecil ke pasar tradisional untuk mengajarinya ilmu kehidupan?"
Silvi tertawa sinis. "Tidak ada pelajaran yang bisa diambil di tempat itu!"
"Hanya karena kamu dibesarkan dalam keluarga kaya sejak kecil, terbiasa mengunjungi spot-spot belanja mewah, bukan berarti tempat yang sederhana tidak ada nilainya."
Dengan geram, Silvi memukul meja makan di hadapannya. Ia tersinggung.
"Kamu mau menghinaku?! Kamu pikir, orang kaya seperti kita tidak baik dan amoral?!"
"Aku tidak pernah bilang begitu, Silvi. Aku juga sadar siapa aku. Terbiasa dengan kemudahan hidup sejak kecil, tapi aku tidak menutup mata. Masih banyak sisi kehidupan lain, masih banyak orang lain yang tidak seberuntung kita. Itulah yang ingin kutunjukkan pada Safira."
"No way! Pokoknya aku tidak mau Safira dekat-dekat tempat itu!"
Bagaimana ini? Perdebatan takkan selesai. Calvin Wan yang lembut dan penyayang versus Silvi Marisa yang keras kepala dan egois. Lagi, perbedaan prinsip menimbulkan keretakan.
"Kamu akan jahat sekali kalau membawa Safira ke tempat yang kotor, banyak penyakitnya, dan tidak aman! Rasakan kalau nanti anakmu diculik!"
Dalam hati Calvin beristighfar. Mengapa Silvi mendoakan hal buruk menimpa putrinya? Walaupun anak angkat, Calvin sangat menyayangi Safira. Mana mungkin ia biarkan anaknya disakiti orang jahat?
Perlahan Silvi memunguti peralatan makan di lantai. Dadanya naik-turun menahan emosi. Kesedihan dan kemarahan tertinggal di wajahnya.
"Coba saja aku mengasuh Safira bersama Al. Tentu takkan begini. Dia bisa berpikir lebih jernih darimu." Desahnya. Disambuti tatapan masygul Calvin. Rupanya Silvi masih mengingat mantan kekasihnya.
Raungan sirine pertanda Imsakiyah di kejauhan mengurai pertengkaran mereka. Namun, belum tentu berakhir dengan damai.
** Â Â Â
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku... (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).
Kesepuluh jemari lentik berlari lincah di atas tuts piano. Suara bass mengalir keluar dengan penuh kesedihan. Setelah bermain piano, Calvin menyeka ujung matanya. Ada luka di mata sipit bening itu. Luka yang digoreskan berulang kali oleh wanita pendamping hidupnya.
Pintu studio musik bergeser membuka. Safira melangkah masuk. Tertegun melihat ayah super tampannya terpagut kesedihan. Sejenak gadis kecil blasteran Indonesia-Turki-Jerman itu menundukkan wajah.
"Ayah jangan sedih..." ujarnya pelan, merangkak naik ke pangkuan Calvin.
Penghiburan putri semata wayangnya seperti obat. Obat yang menyembuhkan pedih hatinya. Calvin mengusap lembut rambut pirang Safira. Ia cium keningnya.
"Ayah nggak sedih, Sayang. Sudah biasa, Bunda kan memang begitu." kata Calvin menenangkan.
"Bunda kok jahat sama Ayah?" tanya Silvi polos.
"Bunda baik, Sayang. Bunda nggak suka aja kalo beda pendapat sama Ayah."
Nampaknya Safira hampir menangis. Bibirnya bergetar, seolah akan jatuh. Tubuhnya pun bergetar.
"Tapi Bunda sering nyakitin Ayah..."
Ah, ini sulit dijelaskan. Anak kecil belum mengerti dalamnya cinta sejati. Seburuk apa pun perlakuan Silvi, Calvin akan tetap menerima dengan rasa cinta. Tanpa kebencian setitik pun.
"Bunda tidak pernah menyakiti Ayah. Caranya saja yang keras. Bunda sayang Ayah, sayang Safira juga. Safira percaya kan sama Ayah?"
"Percaya, Ayah."
"Anak pintar. I love you, Safira Hartman."
"Love you too."
Pria berdarah Tionghoa itu memeluk Safira erat. Safira dan Silvi, dua alasannya untuk terus bertahan dan bersemangat menjalani sisa hidup.
Setengah jam kemudian, Calvin membawa Safira turun ke halaman. Safira dibuat kagum oleh ayahnya. Ternyata Calvin suka menanam bunga. Lily, mawar, aster, bougenville, canna stripped beauty di taman bunga di rumah mewah itu, Calvinlah yang menanamnya. Pagi ini Calvin mengajari Safira menanam dan merawat bunga-bunga. Benar-benar tipikal hot daddy. Pada tanaman saja ia begitu lembut dan penyayang, apa lagi pada manusia-manusia yang dicintainya.
Tangan dingin Calvin mampu menumbuhkan bunga-bunga cantik itu. Taman bunga menjadi surga kecil di rumah mereka. Semua orang mengira, ini berkat kerja keras Silvi. Nyatanya ini karena hasil tangan dingin Calvin.
Pria yang menyukai bunga berhati lembut dan pengertian. Makin besar kekaguman Silvi pada ayahnya.
"Safira pintar...nah, simpan lagi pupuknya ya. Abis ini kita siap-siap pergi, ok? Ayah mau ajak Safira jalan-jalan."
Mata biru Safira berbinar bahagia. Menyimpan kembali pupuknya, ia berlari lebih dulu ke dalam rumah. Tak sabar ingin segera pergi dengan sang ayah.
** Â Â Â
"Ayah, kenapa kita hanya berdua? Bunda nggak ikut?" Safira menanyai Calvin di dalam mobil.
Nissan X-Trail itu melaju cepat di jalan tol. Calvin hanya ingin pergi berdua dengan putrinya. Ia bahkan tak membawa supir.
"Hari ini, Ayah hanya milik Safira." Calvin tersenyum menawan, memberi jawaban romantis yang menenteramkan.
Safira balas tersenyum. Senang sekali bisa berduaan dengan Calvin. Tanpa supir pribadi yang berwajah bosan, tanpa omelan galak Bundanya. Hanya bersama Calvin, Safira bahagia.
Perjalanan berlangsung menyenangkan. Safira dan Calvin bernyanyi mengikuti alunan lagu di radio mobil. Sesekali mengomentari apa yang mereka lihat di jalan-jalan raya. Menunggu kemacetan dengan sabar.
Jauhnya jarak tak terasa. Mereka turun dari mobil, masih dengan senyuman menghiasi wajah selepas bernyanyi dan berbicara banyak hal sepanjang perjalanan. Seorang petugas valley parking mengambil alih. Tersenyum hormat pada Calvin.
"Lho, ini kan supermarketnya Ayah." tukas Safira kebingungan.
Calvin hanya tersenyum misterius. Digandengnya tangan putrinya ke dalam areal supermarket.
Pintu kaca terbuka otomatis. Kesejukan AC menyerbu tangan, tengkuk, dan kaki mereka. Lantai keramik di bawah kaki mereka bersih mengkilap. Inilah satu dari lima gerai supermarket yang dikelola Calvin. Jaringan supermarket warisan keluarga yang jatuh ke tangannya.
Jangan samakan supermarket ini dengan kebanyakan supermarket lainnya. Di sini memadukan konsep hypermarket, food, dan entertainment. Bukan supermarket biasa. Tak hanya surganya para ibu yang ingin berbelanja kebutuhan, tetapi juga sarana refreshing untuk anak-anak dan semua orang lintas usia. Ada playground dan kids city di lantai tiga.Â
Katalog memudahkan pengunjung untuk menemukan barang yang mereka cari, berikut petunjuk lorong dan counternya. Supermarket ini menyasar segmentaasi konsumen kelas menengah ke atas. Wajar bila produk-produknya berkualitas tinggi. Meski demikian, supermarket ini konsisten menjual produk halal. Tidak boleh dijual produk daging babi, minuman alkohol, dan materi non-halal lainnya.
"Safira Sayang, ayo ambil keranjangnya." Calvin menunjuk tumpukan keranjang berwarna merah di dekat pintu masuk. Begitulah Calvin. Tak hanya mengajak, melainkan melibatkan putrinya secara aktif.
Safira mengambil keranjang lucu dari tumpukan itu, dan menentengnya. Belum jauh mereka melangkah, terdengar erangan seorang perempuan. Sepertinya ia pengunjung supermarket yang butuh bantuan. Tak ada karyawan di dekatnya.
Tanpa diminta, Calvin bergegas menghampiri perempuan itu. Ia peringatkan Safira tetap di tempatnya.
"Maaf, Anda kenapa? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Calvin ramah.
"Punggung dan kaki saya sakit. Saya sedang hamil, tadi dari rumah saya lupa bawa kursi roda."
"Jangan khawatir. Supermarket ini meminjamkan kursi roda tanpa deposit. Sebentar, saya ambilkan."
Bisa saja Calvin menyuruh salah satu pegawainya melakukan itu. Tetapi dia sendiri yang melakukannya. Calvin Wan tak pernah keberatan berinteraksi langsung dengan konsumen.
Tak lama, ia kembali membawa sebuah kursi roda. Dibantunya perempuan itu duduk di atasnya. Sesaat perempuan itu terpana, speechless mendapati kebaikan hati Calvin. Menatapi wajah tampan pria itu sekilas.
"Terima kasih ya," ucapnya.
"Oh ya, Anda siapa kalau saya boleh tahu? Kenapa mau membantu saya, dan tahu betul tentang supermarket ini?"
"Saya..."
"Beliau ini Pak Calvin Wan, owner Fresh Zone Supermarket."
Belum sempat Calvin memutuskan harus menjawab apa, seorang karyawan mendahuluinya. Si perempuan berkursi roda terperangah. Kaget luar biasa. Ia baru saja ditolong seorang pengusaha retail yang sangat baik.
Selang beberapa menit, Calvin kembali lagi ke sisi Safira. Seperti biasa anak kecil itu melontarkan pertanyaan untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Secara tidak langsung, Calvin telah mengajari Safira betapa pentingnya menolong orang lain. Bukan hanya itu. Ia juga mengajari Safira untuk mengasihi dan memperhatikan orang-orang sakit, lemah secara fisik, dan berkebutuhan khusus.
Mereka pun mulai berbelanja. Berbaur dengan pengunjung lainnya. Suasana supermarket tenang dan kondusif. Musik klasik mengalun merdu, membuat betah berlama-lama. Calvin dan Safira membeli mentega, roti, susu, coklat, dan daging.Â
Mereka berkeliling di lantai dasar. Tiba di counter buah dan sayur, Safira minta dibelikan anggur. Demi mengutamakan kesegaran produk-produknya, buah-buahan dan sayuran yang dijual di sini semuanya terbungkus rapat dalam kantong plastik. Tidak ada buah dan sayuran yang dibiarkan telanjang tanpa bungkus.
Ketika keranjang sudah terlalu berat, Calvin mengambilnya dari tangan Safira. Tadi dia hanya ingin melibatkan anak perempuannya tanpa bermaksud membebani. Pria tampan berjas hitam itu menarik perhatian para pengunjung. Rata-rata terpesona menatapinya. Bagaimana tidak, ada seorang pria sangat tampan berpenampilan charming membawa anak-anak. Sangat menawan.
Selesai berbelanja di lantai dasar, mereka naik ke lantai satu. Lantai ini khusus menjual produk mom and baby, beauty, dan home living. Ternyata, disini menjual produk merk Quinny, Nuna, ELC, dan brand-brand lainnya. Semua produknya bagus, kualitas tinggi, branded, dan mahal. Orang-orang yang berbelanja di sini kelihatan dari kalangan berpunya. Terlihat seorang perempuan cantik dengan pakaian branded dan tas mewah melenggang anggun di lorong beauty. Di belakangnya, wanita tua berpakaian sederhana sibuk mendorong kereta bayi. Lekat mengikuti perempuan cantik berpenampilan mewah itu. Bayi laki-laki berkulit putih tertidur lelap di dalam keretanya, sama sekali tak menyadari betapa lelah pengasuhnya dan betapa cerewet perempuan cantik yang berjalan di depannya. Sebuah pemandangan biasa di sini.
Calvin dan Safira hanya sebentar. Mereka tidak membeli apa-apa. Hanya memperhatikan tampilan dan tingkah laku pengunjung supermarket.
Mereka naik ke lantai dua. Bila lantai satu concern pada produk bayi, lantai dua khusus produk pakaian anak. Berbagai merk-merk terkenal menghiasi counter pakaian anak. Calvin membelikan banyak baju untuk Safira. Senang sekali gadis kecil itu mendapat baju-baju dari ayahnya. Tak sedikit uang yang dikeluarkan Calvin untuk membeli baju-baju Safira. Toh ia senang melakukannya. Selama mampu, kenapa tidak?
Cukup lama mereka berada di sana. Sampai akhirnya, Calvin kembali menuntun Safira ke dalam mobil. Tak cukup sampai di situ saja.
** Â Â Â
Kontras, satu kata yang melayang di kepala Safira begitu menginjakkan kaki di pasar tradisional ini. Calvin membawanya meninggalkan kemewahan pusat perbelanjaan modern, berganti suasana ke pasar tradisional yang serba sederhana.
Orang-orang berdesakan di sepanjang lorong sempit pasar. Mereka berhenti di depan pedagang, lalu menawar. Berusaha agar si penjual mau banting harga. Baju-baju murahan berwarna cerah digantungkan, terpajang agar semua orang bisa melihatnya. Beberapa ibu datang bersama anaknya, sementara si anak berulang kali meminta ini-itu pada ibunya. Wajah sang ibu begitu kusut. Ia nampak terbebani dengan permintaan anaknya. Pria-pria berpakaian lusuh penuh keringat memanggul banyak barang dan mengangkutnya ke atas pick up. Seorang perempuan tua susah payah menenangkan anak kecil yang sejak tadi berteriak minta dibelikan permen, sepatu, dan pakaian. Pedagang sayuran menolong pembeli yang kerepotan membawa belanjaannya dengan memberikan kantong belanjaan yang lebih besar. Dua orang laki-laki dengan kaus bertuliskan "2019 Ganti Presiden" berdiri di sudut pasar. Mereka sibuk mengisap rokok sambil memaki-maki pemerintah. Berani sekali mereka merokok di tempat umum di siang hari bulan Ramadan.
Dari tempat mereka berdiri, Calvin dan Safira melihat pemandangan yang sangat kontras. Beda sekali dengan suasana tenang dan nyaman di supermarket tadi. Kesemrawutan dan kekacauan menyatu di pasar tradisional. Tidak ada spesifikasi tempat dan barang yang dijual. Bahan makanan, pakaian, dan barang-barang lainnya dijual di area yang sama, tanpa adanya pemisahan tempat yang spesifik. Pelan-pelan Calvin menuntun Safira melewati deretan pedagang. Ia berhati-hati sekali melindungi putri cantiknya. Jangan sampai ada tangan jahil menyentuh Safira Hartman.
Seprotektif apa pun Calvin, ada juga tangan tak pantas yang menyentuh. Mulanya didorong rasa gemas. Seorang pedagang balon mencubit pipi Safira. Refleks anak cantik itu berteriak kesakitan.
"Apa yang Anda lakukan pada anak saya?" tegur Calvin tajam.
"Oooh...jadi ini anak lu? Cakep juga ye, anak ama bapak cakepnya maksimal." Balas si pedagang balon tanpa merasa bersalah.
Mau tak mau hati Calvin tercabik, antara bersalah dan cemas. Bersalah karena telah mengajak Safira ke tempat itu, cemas karena takut anaknya diapa-apakan lagi. Pasar tradisional ternyata tak ramah untuk anak kecil dan orang kaya.
"Lagian lu ngapain sih ke sini? Orang kaya pakai datang ke pasar tradisional. Atau jangan-jangan lu Caleg ya? Mau kampanye di sini? Percuma, kagak mempan kampanye sama kite-kite! Kite-kite udah kagak percaya sama pemerintah!"
Calvin kaget mendengar ocehan penjual balon. Separah itukah kemiskinan hingga mengikis kepercayaan pada pemerintah?
Buru-buru Calvin menggendong Safira. Makin melindunginya, menjauhkannya dari tangan-tangan usil. Safira sudah semakin besar. Tubuhnya tak seringan dulu. Tapi Calvin masih sanggup menggendongnya. Padahal Calvin sendiri belum tentu cukup sehat untuk melakukan itu. Sudah lama Calvin tak menggendong Safira. Terpenjara larangan dokter yang terlalu khawatir.
"Ayah?" bisik Safira, senang sekali berada dalam dekapan ayahnya.
"Iya, Safira?"
"Makasih ya jalan-jalannya. Safira jadi tahu, kalau di luar sini ada yang nggak kayak kita. Ada yang masih harus belanja di tempat ini. Ada yang bajunya nggak sebagus kita. Ada anak yang nggak seberuntung Safira."
Perkataan Calvin sukses membuat Calvin tertegun. Ia telah berhasil. Berhasil memberikan pelajaran tentang ilmu kehidupan. Beginilah salah satu cara Calvin mengasihi Safira. Mengajari anak ilmu kehidupan adalah bentuk kasih yang nyata.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H