Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nak, Pulanglah Saat Papa Masih Bernafas

5 Juni 2018   05:47 Diperbarui: 5 Juni 2018   08:23 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

**     

Derit roda-roda kursi beradu dengan permukaan jalan mengalihkan perhatian orang-orang yang melewati blok-blok di kompleks perumahan elite itu. Sontak tatapan mereka tertuju ke arah sesosok pria setengah baya bersweater biru muda di atas kursi roda. Wajah pria itu pucat, namun tetap memperlihatkan sisa-sisa ketampanan di masa lalu. Tatapannya hampa, sesekali menatapi jajaran bunga di tepi jalan. Sesekali memandangi langit sore yang cerah berlapis awan. Ia seakan tak menyadari keheranan para penghuni kompleks yang memperhatikannya.

"Sssttt...itu kan mantan direktur rumah sakit yang kecelakaan setengah tahun lalu."

"Dia kenapa ya? Kok sendirian? Bukannya anaknya dokter juga?"

"Nggak ada yang rawat di rumah kali ya...kasihan. Pasti depresi."

Marahkah ia mendengar bisikan-bisikan itu? Tidak. Untuk apa marah? Terus saja pria itu menggerakkan kursi roda otomatisnya. Mengarahkannya ke rumah paling besar dan paling mewah di kompleks perumahan itu.

Sebuah rumah besar berlantai dua dengan dominasi warna biru laut. Warna yang menyejukkan mata. Di halaman depan, nampak seorang tukang kebun berambut keriting tengah memotong rumput. Begitu dia tiba di rumah, perempuan awal 40-an berwajah lugu dan mengenakan apron putih berlari menghampirinya.

"Masya Allah...Dokter, Dokter Tian kemana saja? Kami semua khawatir!" serunya.

Terkadang ia merasa tak enak. Pedih juga mendengar panggilan dokter tetap ditujukan untuknya, sekalipun ia bukan lagi seorang dokter. Bukan pula direktur rumah sakit seperti dulu.

"Saya baik-baik saja. Ada telepon dari Albert?" tanya Dokter Tian mengalihkan pembicaraan.

Si wanita menggeleng lemah. Kecewa, bayangan itu melintas di wajah sang mantan dokter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun