Klik. Telepon terputus begitu saja. Belum sempat sepatah kata pun terucap dari sang ayah. Sakitnya, sang ayah tiri dibanding-bandingkan dengan ayah kandung. Sungguh menyakitkan.
Dokter Tian menghela nafas berat. Antara kecewa, sedih, dan rindu. Sesibuk itukah putra tunggalnya? Anak lelaki yang ia adopsi, ia besarkan sendiri tanpa istri. Anak lelaki yang ia rawat sejak kecil, ia didik dengan penuh kasih, ia ajarkan nilai-nilai kebaikan, ia antarkan hingga menjadi dokter. Bukannya mengharapkan balasan, sama sekali bukan. Namun, pembiaran itu sakit. Pengabaian itu pedih.
Terbawa kesedihan, Dokter Tian meraih dan menyalakan laptopnya. Dibukanya blog pribadinya. Memilih menu dashboard, kemudian mulai menulis. Menulis puisi, hobi barunya sejak kecelakaan dan akhirnya lumpuh. Puisi-puisi yang ditulisnya setiap hari, cerminan dari kesepian hidupnya. Ungkapan terdalam kesedihan dan luka hatinya.
** Â Â Â
"Albert, tunggu!"
Pria tampan berkulit putih dan bermata sipit itu mengejar sahabatnya. Sesaat mengabaikan keributan yang dibuat kakinya sendiri karena berlarian di koridor rumah sakit.
"Papamu membutuhkanmu, Al." Pria Tionghoa itu sedikit terengah, menyapu rambutnya.
Albert berbalik. Menatap Calvin tajam, berkata tegas.
"Papa Tian akan baik-baik saja. Dia dijaga Bi Liswanti dan Bang Putusali. Sudahlah Calvin, jangan terlalu peduli. Dia bukan Papamu, kan?"
Menurut Calvin, ini sudah keterlaluan. Ia mendesah sabar. Teringat jika bulan suci tak boleh marah.
"Dokter Tian sudah kuanggap seperti Papa kedua. Apa lagi, Dokter Tian pernah mengobatiku dari kanker darah waktu kecil. Papamu merawatku dengan tulus dan penuh kasih. Bagaimana aku bisa melupakannya?"