Mengistirahatkan kakinya yang letih, Dinda menjatuhkan diri di waiting chair. Nyaris saja ia menyerah kalau tak melihat sebuah brankar didorong dengan cepat dari arah ruangan kemoterapi. Rasanya ia familiar dengan sosok di atas tempat tidur itu. Juga orang-orang berpakaian putih dan hitam itu. Mata Dinda melebar ketakutan. Ia menahan nafas, shock.
"Tuan Calvin, tolong Anda sabar." Didengarnya seorang suster berkata.
Pria tinggi berjas hitam yang memunggunginya, bukankah itu Calvin? Dia tidak terapi. Dialah yang mendorong brankar itu bersama paramedis.
"Dia adik saya, Suster. Bagaimana saya tidak cemas?"
Suara bass itu, jelas suara Calvin. Dinda melihat Calvin membungkuk, memegang tangan pemuda berambut coklat yang terbaring di brankar.
"Christ, kamu harus kuat. Kamu pasti bisa. Lawan rasa sakitnya, Christ."
Tubuh Dinda bergetar. Christ, adik tiri Calvin, sakit kanker? Ya Allah, cobaan apa lagi yang menimpa keluarga baik itu? Mengapa Calvin tak memberi tahunya?
Air mata mengaliri wajah Dinda. Menyeka kasar air matanya, Dinda berlari menjauh. Suaranya bergetar menahan sedih dan amarah saat menelepon Calvin.
"Jelaskan padaku apa yang terjadi dengan Christ! Pembohong! Kenapa kamu tidak bercerita? Katanya mempercayaiku! Bullshit!"
Hal pertama yang dilakukan Dinda adalah memaki Calvin. Dapat ia dengar helaan nafas pria tampan itu. Lelahkah Calvin? Atau putus asa?
"Nanti malam aku ke rumahmu, Dinda. Biar kujelaskan."