Tak lama, Revan pamit pada Calvin. Ia putuskan kembali ke kampus setelah memastikan sahabatnya baik-baik saja. Menatap punggung sahabatnya yang kian menjauh, Calvin rasanya ingin tertawa karena kejadian beberapa saat lalu. Revan Tendean memang tampan, sangat tampan. Itu karena campuran tiga ras dalam tubuhnya: Minahasa, Portugis, Turki. Sebagai pria, Revan sangat tampan. Tapi, ternyata Revan cantik sekali saat menyamar menjadi wanita.
Setengah jam berikutnya, Calvin berhadapan dengan seorang wanita berusia sekitar 35 tahun berpakaian lusuh. Ia ditemani anak lelakinya, kelihatannya umurnya 6-7 tahun. Barang belanjaannya hanya sedikit. Sabun, detergen, dan minyak goreng. Berulang kali si wanita mengeluh panjang, resah membuka-buka dompetnya.
"Supermarket ini hanya untuk orang kaya." desisnya.
"Mendingan saya belanja di toko depan gang rumah saya. Kapok deh saya belanja di sini. Uang buat seminggu bisa habis."
Diam dan tetap melempar senyum menawan, hanya itu yang dilakukan si kasir palsu. Pria tampan berdarah Tionghoa itu dalam hati malah kasihan pada anak si wanita. Malangnya punya ibu yang hobi mengeluh. Sementara itu, si anak lelaki melirik batang-batang coklat yang tersusun rapi di meja kasir. Coklat di meja kasir, salah satu taktik yang sedang diujicobakan beberapa bulan terakhir di semua gerai supermarket milik Calvin.
Mata anak itu melirik tak henti. Ia memungut satu batang coklat, lalu menciumnya. Mengelus-elus bungkusnya penuh kerinduan.
"Ibu, aku mau coklat." rajuknya tiba-tiba, mengagetkan ibunya.
Si ibu melotot galak. Lalu membentak anaknya dengan marah.
"Nggak boleh! Ibu nggak punya uang lagi! Kan tadi udah janji, kamu nggak minta dibelikan apa-apa!"
"Yah Ibu...ayo dong. Beliin aku coklat. Aku mau coklat itu."
Terus memohon, lama-lama ibunya kasihan juga. Calvin menatap mereka berdua tanpa kata. Mendadak ia teringat Silvi. Andai saja Silvi yang meminta hal seperti itu, ia akan langsung memenuhinya tanpa perlu berdebat. Rindunya pada Silvi membuncah teramat kuat.