Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Funeral Organizer", Kesenjangan Sosial, Penurunan Nilai Spiritual

8 April 2018   05:50 Diperbarui: 8 April 2018   07:45 1255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.bergamonews.it

Mungkin kiamat memang sudah dekat. Fenomena yang aneh dan tak biasa bermunculan. Sekarang ini, bukan kebahagiaan yang dirayakan besar-besaran. Kesedihan pun ikut dirayakan.

Tidak percaya? Lihat saja proses penyelenggaraan pemakaman yang belakangan ini kebanyakan lebih mirip pesta. Prosesi penyelenggaraan pemakaman besar-besaran biasanya melibatkan funeral organizer. Nah, lihat itu. Sampai-sampai muncul istilah funeral organizer. Pasti mau menyaingi wedding organizer dan event organizer.

Sebelum melanjutkan tulisan cantik ini, Young Lady mau minta maaf dulu. Sama sekali tak ada maksud menyinggung pihak mana pun. Silakan saja kalau mau membantah atau tidak setuju. Ini hanya tulisan cantik pelampiasan.

Akhir-akhir ini, bisnis funeral organizer tumbuh subur. Macam-macam saja jasa yang disediakannya. Mulai dari rias jenazah, tempat persemayaman, penyelenggaraan pemakaman, hingga yang paling aneh adalah jasa pelayat bayaran dan pendoa bayaran. Bahkan ada pula jasa orang menangis bayaran di rumah duka. Tingkat kesedihan, jumlah pelayat, jumlah pendoa, dan intensitas air mata diukur dari tarif.

Pertanyaannya adalah, haruskah kematian dimaknai dengan cara seperti itu? Haruskah kematian dirayakan? Dari pada merayakannya, tidakkah lebih baik keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan fokus mendoakannya?

Bukan maksud Young Lady menghakimi para penyedia jasa funeral organizer atau pengguna jasa tersebut. Namun, cobalah menatap kenyataan. Cobalah bercermin pada diri sendiri.

Bila menentukan tempat pemakaman, memesan makam sebelum meninggal, atau menginginkan dimana akan dimakamkan, itu masih wajar. Namun merayakan kematian secara berlebihan? Masihkah dianggap wajar?

Satu hal lagi: dimana peran dan tanggung jawab keluarga pada orang yang telah meninggal? Bila menyerahkan proses pengurusan jenazah pada pihak funeral organizer, sama artinya membuktikan keengganan untuk mengurus jenazah anggota keluarga yang telah meninggal. Membiarkan jenazah disentuh tangan-tangan lain yang tidak dikenal. Membiarkan jenazah diurus orang lain, merasa sudah cukup hanya dengan membayar sejumlah uang. Memangnya uang bisa menyelesaikan semua tanggung jawab moral dan spiritual?

Sangat ironis bila keluarga enggan mengurusi jenazah anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Dan lebih memilih melimpahkannya ke tangan funeral organizer. Ok fine, mungkin alasannya bisa karena terlalu sibuk atau tak ada waktu. Tapi, tegakah kita tetap sibuk dengan urusan duniawi sementara ada anggota keluarga yang baru saja meninggal dan butuh perhatian untuk terakhir kali? Mengurus jenazah bisa saja dipandang melelahkan. Ini urusannya dengan Tuhan, kasih, dan cinta. Yakinlah, lelahnya takkan terasa. Toh ini untuk yang terakhir kalinya.

Lalu mengenai pelayat bayaran. Haruskah pelayat datang hanya karena uang? Kematian seolah bisa dikomersialkan. Pelayat tak datang dengan hati, melainkan dengan iming-iming materi. Rasa gengsi berbicara. Keluarga akan malu bila pelayat hanya sedikit. Agar terkesan banyak, solusinya adalah mendatangkan pelayat bayaran. Begitu mudahnya kematian dikomersialkan.

Jasa tangisan di rumah duka lebih miris lagi. Apakah kesedihan harus dibuat-buat? Anggapan uang bisa membuat bahagia nampaknya segera bergeser. Uang pun bisa menciptakan kesedihan. Kesedihan di atas kepura-puraan. Orang berpura-pura sedih, menangis, dan meratapi kepergian orang yang tak dikenalnya demi uang. Sangat materialistis. Kini, kesedihan bisa dibeli.

Last but not least, pendoa bayaran. Ini fenomena yang sangat menurunkan keluhuran spiritual. Apakah berdoa harus dibayar? Apakah nilai nominal bisa menggantikan berharganya nilai doa? Apakah ayat-ayat Tuhan untuk mendoakan orang meninggal dapat dibeli dengan uang? Bisakah ayat-ayat cinta, ayat-ayat kasih untuk dia yang telah meninggal, ditukar begitu saja dengan lembaran uang? Lantas, dimanakah nilai spiritualnya?

Andai saja dia yang telah meninggal tahu apa yang dilakukan keluarganya, tidakkah mereka akan bersedih? Seperti lagunya Isyana Sarasvati, mungkin mereka masih berharap mendapatkan cinta, kasih sayang, dan perhatian setelah dijemput kematian. Tidakkah menyerahkan urusan jenazah pada orang tak dikenal akan mengecewakan dia yang telah meninggal di alam sana?

Di dalam Injil Matius dan Injil Lukas, disebutkan mengenai penguburan Yesus. Jenazah Yesus diurus oleh Yusuf dari Arimatea. Yusuf dan Nikodemus menguburkan jenazah Yesus setelah memakaikan kain linen di sebuah kubur milik Yusuf yang masih baru. Hal ini menunjukkan bahwa prosesi pemakaman seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam suatu agama sangatlah sederhana. Hanya murid-muridnyalah yang mengurus jenazahnya.

Imam Muhammad bin al Farj al Qurthubi al Maliki; Abu Abdillah bin al Thila' di dalam kitabnya (Aqdliyatu Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam) mengutip pernyataan Ibnu Hisyam di dalam kitab sejarahnya yang menyatakan bahwa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib, al 'Abbas, al Fadl bin 'Abbas, Qatsam bin al 'Abbas, Usamah bin Zaid, dan Syaqran adalah orang-orang yang mengurus pemandian Nabi Muhammad. 

Sebelum dimakamkan, sempat terjadi perdebatan dimanakah Rasulullah akan dimakamkan. Ada yang mengusulkan supaya Rasulullah dimakamkan di mimbar, di mihrab, dan di tempat pemakaman umum para sahabat dan kaum Muslimin. Perdebatan itu diselesaikan oleh Abu Bakar yang menyebutkan sabda Rasulullah. Akhirnya, Rasulullah dimakamkan di tempat beliau meninggal, yaitu di kamar Aisyah.

Sederhana, kan? Simple, kan? Itu adalah pemakaman dua tokoh legendaris dalam dua agama terbesar di dunia. Nabi saja, orang pilihan Tuhan saja, jenazahnya diurus dengan sederhana oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya. Lantas kita, yang bukan siapa-siapa, masih jauh dari hamba Tuhan yang baik, malah menghamburkan biaya untuk penyelenggaraan pemakaman? Nabi Muhammad saja yang masuk urutan seratus orang paling berpengaruh di dunia menurut Michael Hart dimakamkan dengan sangat sederhana.

Tidakkah kita merasa malu dan ingin berkaca? Dan tidakkah kita merasa kasihan pada orang-orang yang belum tentu mampu membayar jasa funeral organizer? Kesenjangan sosial semakin nyata. Jurang pemisah kian lebar antara yang kaya dan yang miskin. Saat hidup saja sudah mengalami kesenjangan, begitu pula saat kematian datang. Yang kaya makin di atas angin, yang miskin makin terpuruk.

Dari pada digunakan untuk membayar jasa funeral organizer, membeli makanan berlimpah, dan karangan bunga, lebih baik uangnya untuk beramal atas nama orang yang sudah meninggal. Agar kebaikannya mengalir padanya, agar bisa mempermudah jalannya di alam kehidupan setelah mati. So, bagaimana pendapat Kompasianer?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun