Last but not least, pendoa bayaran. Ini fenomena yang sangat menurunkan keluhuran spiritual. Apakah berdoa harus dibayar? Apakah nilai nominal bisa menggantikan berharganya nilai doa? Apakah ayat-ayat Tuhan untuk mendoakan orang meninggal dapat dibeli dengan uang? Bisakah ayat-ayat cinta, ayat-ayat kasih untuk dia yang telah meninggal, ditukar begitu saja dengan lembaran uang? Lantas, dimanakah nilai spiritualnya?
Andai saja dia yang telah meninggal tahu apa yang dilakukan keluarganya, tidakkah mereka akan bersedih? Seperti lagunya Isyana Sarasvati, mungkin mereka masih berharap mendapatkan cinta, kasih sayang, dan perhatian setelah dijemput kematian. Tidakkah menyerahkan urusan jenazah pada orang tak dikenal akan mengecewakan dia yang telah meninggal di alam sana?
Di dalam Injil Matius dan Injil Lukas, disebutkan mengenai penguburan Yesus. Jenazah Yesus diurus oleh Yusuf dari Arimatea. Yusuf dan Nikodemus menguburkan jenazah Yesus setelah memakaikan kain linen di sebuah kubur milik Yusuf yang masih baru. Hal ini menunjukkan bahwa prosesi pemakaman seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam suatu agama sangatlah sederhana. Hanya murid-muridnyalah yang mengurus jenazahnya.
Imam Muhammad bin al Farj al Qurthubi al Maliki; Abu Abdillah bin al Thila' di dalam kitabnya (Aqdliyatu Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam) mengutip pernyataan Ibnu Hisyam di dalam kitab sejarahnya yang menyatakan bahwa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib, al 'Abbas, al Fadl bin 'Abbas, Qatsam bin al 'Abbas, Usamah bin Zaid, dan Syaqran adalah orang-orang yang mengurus pemandian Nabi Muhammad.Â
Sebelum dimakamkan, sempat terjadi perdebatan dimanakah Rasulullah akan dimakamkan. Ada yang mengusulkan supaya Rasulullah dimakamkan di mimbar, di mihrab, dan di tempat pemakaman umum para sahabat dan kaum Muslimin. Perdebatan itu diselesaikan oleh Abu Bakar yang menyebutkan sabda Rasulullah. Akhirnya, Rasulullah dimakamkan di tempat beliau meninggal, yaitu di kamar Aisyah.
Sederhana, kan? Simple, kan? Itu adalah pemakaman dua tokoh legendaris dalam dua agama terbesar di dunia. Nabi saja, orang pilihan Tuhan saja, jenazahnya diurus dengan sederhana oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya. Lantas kita, yang bukan siapa-siapa, masih jauh dari hamba Tuhan yang baik, malah menghamburkan biaya untuk penyelenggaraan pemakaman? Nabi Muhammad saja yang masuk urutan seratus orang paling berpengaruh di dunia menurut Michael Hart dimakamkan dengan sangat sederhana.
Tidakkah kita merasa malu dan ingin berkaca? Dan tidakkah kita merasa kasihan pada orang-orang yang belum tentu mampu membayar jasa funeral organizer? Kesenjangan sosial semakin nyata. Jurang pemisah kian lebar antara yang kaya dan yang miskin. Saat hidup saja sudah mengalami kesenjangan, begitu pula saat kematian datang. Yang kaya makin di atas angin, yang miskin makin terpuruk.
Dari pada digunakan untuk membayar jasa funeral organizer, membeli makanan berlimpah, dan karangan bunga, lebih baik uangnya untuk beramal atas nama orang yang sudah meninggal. Agar kebaikannya mengalir padanya, agar bisa mempermudah jalannya di alam kehidupan setelah mati. So, bagaimana pendapat Kompasianer?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H