Seakan tak mendengar perkataan sahabatnya, Calvin kembali bicara. "Jangan pikirkan aku. Albert, Chantika butuh kamu."
Sontak Albert terdiam. Apakah ini pertanda dari Allah? Dalam sehari, dua orang telah mengingatkannya.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu, Calvin." Akhirnya dokter ganteng blasteran Eropa itu berani berargumen. Disambuti dua alis yang terangkat.
"Sudah kubilang, jangan pikirkan aku. Chantika lebih membutuhkanmu."
Sebelum terjadi adu argumen, Chantika melepas pelukannya. Ia berdiri menatap Calvin. Senyum tipis terbit di sudut wajahnya. Senyuman di antara bulir air mata. Sebuah pertanda ketegaran.
"Tidak apa-apa, Calvin. Itu pilihan Arif. Tolong hargailah. Dia sungguh-sungguh mempedulikanmu. Aku bisa menunggu." Gadis itu berucap, nadanya halus.
Dua pasang mata sipit bertatapan. Tercipta saling pengertian di antara mereka. Sebenarnya, mereka memiliki story yang nyaris sama. Hanya saja Calvin menemukan titik bahagia di endingnya. Sedangkan cerita perjalanan spiritual Chantika belum berakhir lantaran masih adanya perseteruan religius yang cukup tajam.
** Â Â Â
Di rumah Syifa, Silvi menangis. Tak mau keluar dari kamar tamu. Jauh di dalam hati, ia rindu ayahnya. Ayah yang sering ia sakiti.
"Ayah dimana? Ayah nggak mau ketemu Silvi lagi?" tangis gadis 11 tahun itu.
Hari yang muram untuk Silvi. Praktis ia belum melepas kunciran rambutnya. Cerminan kerinduan dan kesedihan.