"Jawablah, Pa."
"Sejak Mamamu membawamu ke tangan Papa, Papa sudah sangat menyayangimu. Suatu rasa sayang yang muncul tanpa perlu diminta. Rasa sayang itu tetap ada saat Mama kabur dengan pengacara itu. Mungkin kamu bertanya-tanya. Mengapa Papa mau merawat dan membesarkanmu? Mengapa Papa sangat bangga padamu? Mengapa Papa membuatmu menjadi seperti sekarang? Bisa saja Papa membuangmu ke panti asuhan, atau menelantarkanmu sebagai balas dendam. Tapi Papa tidak lakukan itu. Mencintaimu adalah obat untuk menyembuhkan luka hati Papa. Kehadiranmu membuat hidup Papa lebih berarti. Papa memang bukan ayah yang sempurna, tapi cinta Papa untukmu sempurna."
Dokter spesialis Onkologi itu menundukkan wajah. Terhipnotis kata-kata Papa tirinya. Begitulah alasannya. Alasan betapa Dokter Rustian mencintai Albert. Sungguh, Albert bangga memiliki Dokter Rustian. Bangga memakai nama Papa tirinya di belakang namanya. Albert Arif Ansori takkan pernah mau mengganti nama Ansori di belakang namanya dengan Roger Hartman, nama ayah kandungnya.
"Mungkin kamu heran, mengapa Papa membawamu ke Bangka waktu kamu masih kecil. Papa ingin menjauhkanmu dari tempat yang penuh kenangan tentang Mama. Papa tak ingin kamu tumbuh dalam lingkungan yang menyedihkan. Makanya Papa membawamu ke rumah lama Papa. Barulah saat kamu dewasa, semuanya berubah. Masa lalu harus diungkapkan demi mempertahankan nilai kejujuran."
Hatinya teramat sedih. Selama ini, Dokter Rustian membesarkannya sendirian. Tanpa hadirnya seorang istri. Seperti Tuan Effendi membesarkan Calvin.
"Uncle Effendi dan Papa Tian...dua single daddy yang sangat hebat." puji Albert lirih.
Ayah dan anak itu meninggalkan ruang direktur seperempat jam kemudian. Di pertengahan koridor kelima, mereka terperangah. Dua orang suster mendorong tempat tidur beroda. Pria tampan berwajah oriental terbaring di atasnya.
"Calvin!" seru Albert, berlari mengikuti laju brankar itu. Mengambil alih dari tangan perawat, lalu mendorongnya secepat mungkin.
** Â Â Â
"Maafkan aku..."
Sambil meminta maaf, dengan darah menetes dari hidungnya, Calvin menatap ketiga sahabat Kaukasianya. Albertlah yang paling khawatir. Lagi, ia guratkan kecemasan di wajah Anton, Albert, dan Revan.