Pesawat mendarat mulus. Waktu yang dinanti para penumpang pesawat. Saat mereka tiba di tempat yang dituju. Tak terkecuali oleh empat pria tampan metropolis ini.
Pelataran bandara tetiba dipenuhi atmosfer rasa ingin tahu. Semua mata tertuju ke arah empat pria itu. Satu pria Chinese, tiga lainnya setengah bule.
"Permisi," Anton berkata sopan. Tersenyum pada sejumlah wanita bertubuh tambun berpenampilan super glamor yang menghalangi jalan.
Mereka menepi. Demi melihat siapa yang lewat, mata wanita-wanita berumur itu melebar. Anton tetap tersenyum. Ekspresi Albert sedingin baja beku. Calvin dan Revan terlihat tenang.
"Mereka terpesona pada kita," bisik Revan setelah agak jauh dari kerumunan wanita itu.
"Maybe. Sudahlah, tak usah dipikirkan." tukas Calvin singkat, menutup tabnya.
Sementara itu, Albert stay cool sambil memainkan smartphonenya. Ia membuka website milik Calvin. Rupanya Calvin baru saja meng-update isi melodisilvi.com dengan artikel terbarunya.
"Sepi yang Bukan Kesepian." Albert membaca keras-keras judul artikel itu.
"Wow, great. Nanti aku baca." Anton dan Revan berucap nyaris bersamaan.
Belum sempat Calvin menanggapi, kedatangan Adica mengalihkan atensi. Segurat senyuman terlihat di wajah letihnya. Diambilnya travel bag mereka, lalu berkata.
"Wellcome back."
Di tengah suasana duka, masih tersisa sepercik keramahan. Adica datang sendirian. Tanpa supir, tanpa Syifa, tanpa Silvi.
Audi A6 hitam itu meluncur menembus malam berkabut. Calvin duduk di samping Adica. Revan, Anton, dan Albert di bangku belakang. Tawaran Calvin untuk mengemudi ditolak Adica. Sudut hati Calvin mengalirkan rasa kecewa.
"Kamu berharap Silvi ikut menjemputmu, ya?" tebak Adica.
"Iya. Tapi sepertinya...dia tidak menginginkan kepulanganku." lirih Calvin.
Traffic light menyala merah. Adica menepuk pelan pundak sepupunya. "Bukan begitu. Silvi merindukanmu. Dia hanya butuh waktu..."
"Jangan menghiburku, Adica. Aku sudah tahu yang sebenarnya."
Adica terdiam. Di belakang, ketiga sahabat Calvin merasa iba. Miris bila mengingat buruknya hubungan Calvin dan putri semata wayangnya.
** Â Â Â
Selalu kucoba tuk lupakan
Cerita lama yang menjadi buku
Terlanjur sudah ku membaca
Dari bab perkenalan
Tak semua halaman merana
Namun yang kelam terlalu berarti
Yang bahagia terlupakan terselimuti benci
Warna fana ragu hanya karena kamu
Seperti ku tegak berdiri
Di atas kertas putih
Seperti kencangnya berlari
Tanpa tujuan henti
Halaman tawa yang aku cari
Telah hangus di hati
Namun di hati percaya terangkan kembali
Beranikan diri (Isyana Sarasvati-Lembaran Buku).
***
Kesunyian yang telah lama melingkupi rumah besar bertingkat dua dengan warna dominan putih itu dipecahkan oleh denting piano dan alunan suara bass yang empuk. Saat menyanyikan lagu itu, ia teringat Silvi. Pastilah seperti itu gambaran perasaan Silvi padanya. Menyedihkan, cinta dan bahagia terselimuti benci.
Setelah empat tahun berlalu, akhirnya Calvin kembali ke rumahnya. Rumah pribadi bergaya neo klasik, rumah yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya sendiri. Bukan warisan Papanya, bukan pula hadiah dari keluarga besarnya.
Lantai satu digunakan sebagai ruang tamu, ruang santai, pantry, dan perpustakaan. Terdapat dua kamar di sana. Di lantai dua, terdapat ruang santai yang jauh lebih kecil, dilengkapi furniture dan grand piano hitam. Terdapat satu kamar utama dan dua kamar yang lebih kecil namun tak kalah mewah. Tiap kamar dilengkapi balkon dan kamar mandi pribadi.
Lantai marmer, pajangan kristal, sofa Chesterlief, perabotan mahal, dan lampu gantung Spectra Crystal mencerminkan pemilik rumah ini sangat kaya. Di atas garasi, terdapat rooftop garden. Formatnya berupa Green Roof Garden dengan beberapa tanaman dan boxwood sebagai bangku tamannya.
Bukan Calvin Wan namanya bila tak menyukai keindahan. Tanaman hias, bunga-bunga, dan piano menegaskan pria tampan bermata sipit itu menyukai keindahan. Tiba di rumah, hal pertama yang dilakukannya adalah bermain musik. Disaksikan Adica, Albert, Anton, dan Revan dengan kagum.
"Nice," puji Revan. Sisa warna yang semula hilang kini kembali menghiasi wajah pucatnya. Sesaat tadi, ketika memasuki rumah Calvin, Revan melihat kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata di dekat tangga. Revan memiliki mata hati. Ia mampu melihat hal-hal yang tak bisa dilihat orang kebanyakan.
Calvin tersenyum. "Kamu masih shock lihat mereka, Revan? Sorry...rumahku sudah lama tak ditempati. Jadinya begini."
"No problem. Hanya sedikit kaget." Revan berusaha tersenyum, menenangkan sahabat-sahabatnya.
"Abis ini, kamu biasanya langsung demam atau muntah. Aku buatin Sarabba ya." tawar Albert seraya bangkit berdiri. Melangkah ke pantry tanpa menunggu jawaban Revan.
Sarabba, minuman hangat khas Makassar. Terbuat dari jahe, gula merah, kayu manis, dan merica bubuk. Revan menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum mengawasi punggung Albert yang makin menjauh. Anak itu sangat Indonesia, pikir mereka. Mengerti pula kelemahan sahabat-sahabatnya.
Sementara Albert membuatkan Sarabba, Calvin menyiapkan kamar untuk Silvi. Ia melakukannya sendiri tanpa dibantu asisten rumah tangga. Sebagai ayah yang baik, Calvin mau melakukannya. Anton dan Adica meletakkan barang-barang Calvin di kamar utama. Tak tahan diam berlama-lama, Revan menyusul Calvin.
"Biar kubantu." ujar Revan.
"Tidak usah. Kamu istirahat saja. Lagi pula, setelah ini aku mau langsung ke rumah duka." Calvin menolak.
Namun Revan tak suka dilarang. Tetap saja ia membantu Calvin. Mengganti seprai, membersihkan karpet, meluruskan lukisan dan pigura, dan merapikan koleksi boneka Silvi.
Setengah jam kemudian, Calvin bersiap meninggalkan rumah. Anton, Albert, dan Adica sudah pergi lebih dulu. Hanya Revan yang menemaninya.
Calvin membuka pintu Nissan X-Trailnya. Saat itu Revan berkata cemas.
"Calvin, hidungmu berdarah."
Benar saja. Darah segar menetes. Seraya menyeka hidungnya, Calvin menampik tawaran Revan untuk membawa mobilnya. Ia berkeras membawa mobilnya sendiri. Revan menyerah. Ia berdoa agar tak terjadi sesuatu yang buruk.
Dalam duka, Calvin menyetir mobilnya. Tetap penuh konsentrasi. Wajahnya jauh lebih pucat dari sebelumnya. Darah yang mengalir dari hidungnya telah berhenti. Ruas-ruas jalan masih dipadati kendaraan. Berulang kali Revan melempar pandang khawatir.
"Kamu sedih, Calvin. Dan cemas...mata hatiku bisa melihatnya." gumam pria Minahasa-Portugis-Turki itu.
"Yups. Aku khawatir. Ini tentang Papa."
"Cerita saja, aku dengarkan."
Menghela napas berat, Calvin mengungkapkan kecemasannya. "Aku cemas kalau jenazah Papa dikremasi. Kamu bisa bayangkan, sakitnya tubuh yang dibakar. Jangankan dibakar, tersiram air mendidih saja sangat menyakitkan. Aku tidak tega."
"I see. Andai saja Papamu masuk Islam, tentu tak begini. Islam tidak membenarkan kremasi. Kata Baba dan Anne, Islam agama yang sangat memanusiakan manusia, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Jasad orang Islam diperlakukan sebaik mungkin. Karena kita paham, jiwa orang yang sudah meninggal pun masih bisa merasakan sesuatu." jelas Revan. Baba dan Anne, sebutan ayah dan ibu dalam Bahasa Turki.
Sesaat Calvin memejamkan mata. Beruntung saat itu mobil terhenti di traffic light. Ia tak sanggup bila harus melihat Papanya dikremasi.
"Allahumma inni a'uuzubika minal hammi wal hazan. wa a'udzubika minal ajzi wal kasali, wa a'udzubika minal jubni wal bukhli, wa a'udzubika min ghalabatid daini wa qahrir rijaal." Calvin lirih menggumamkan doa. Salah satu doa untuk mengatasi kesedihan.
** Â Â Â
Turun dari mobil, didapatinya rumah duka telah dipenuhi para pelayat. Nampak sekumpulan lelaki berambut gondrong dengan penampilan seperti seniman memberi penghormatan di depan peti jenazah. Wanita-wanita berkalung salib melangkah mundur, mereka baru saja memberi penghormatan. Tujuh orang berbaju koko dengan kopiah di kepala tiba. Mereka menunggu giliran sampai ke depan peti, lalu berdoa dengan cara Islam. Bahkan, terlihat dua orang pria berambut pirang, bermata hijau, berhidung bengkok, dan mengenakan kipah mendekat. Hati Calvin tersentuh. Ternyata Papanya dikenal dan dihormati banyak orang dari berbagai profesi dan agama.
"Shalom Aleichem,"
Di luar dugaan, salah satu pria berkipah menepuk bahu Revan. Ia mengucap salam tradisional khas komunitas Yahudi Askhanazi Eropa Timur.
"Sorry...I'm Moslem." Revan tergeragap, kaget dikira orang Yahudi.
Si pria berkipah lebih kaget lagi. Ia buru-buru minta maaf, dan melangkah pergi. Samar terdengar suara orang tertawa di belakang mereka.
"Sabar ya, Revan. Nasib jadi setengah bule...sering dikira Non-Muslim. Kita senasib kok."
Rupanya Anton, Albert, dan Adica. Calvin mau tak mau ikut tertawa. Revan menggosok-gosok mata birunya. Nampaknya ia mulai letih. Atau menyesal memiliki mata biru dan rambut pirang.
"Oh tidak, mereka mendekati Silvi." tunjuk Albert waswas.
Nama putrinya disebut-sebut. Refleks Calvin mengikuti arah pandang Albert. Silvi, putri cantiknya, putrinya yang telah lama ia tinggalkan, duduk manis di kursi roda. Gaun hitam panjang yang dikenakannya cerminan duka cita. Rambutnya terurai, mata birunya meredup. Entah karena lelah atau kedukaan.
Getaran hebat merayapi hati Calvin. Getaran cinta bercampur rindu. Putrinya cantik sekali. Calvin berlari mendekati Silvi. Mengagetkan dua pria berkipah itu. Otomatis mereka mundur. Memberi ruang gerak untuk Calvin.
"Silvi...Silvi Sayang." panggil Calvin lirih.
Silvi memalingkan wajah. Calvin makin mendekat. Calvin ingin memeluknya, namun...
"Silvi benci Ayah! Silvi kecewa sama Ayah!"
Teriakan Silvi menyedot perhatian para pelayat. Sungguh ironis. Calvin mencintai, Silvi membenci. Sabar, hanya itu garis pemisah antara cinta dan benci. Calvin bersabar menghadapi Silvi.
"Maafkan Ayah, Sayang. Ayah janji...tidak akan meninggalkan Silvi lagi." janji Calvin penuh kesungguhan.
Bukannya terbujuk, Silvi kian marah. Ketika Calvin mencoba memeluknya untuk kedua kali, Silvi mendorongnya. Calvin tetap sabar. Mulai sekarang ia berusaha terbiasa disakiti. Kesabaran dan keikhlasan menjadi kekuatannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H