Calvin menulis ulasan tentang Indonesia darurat narkoba. Sebuah artikel kritis. Luar biasa, Calvin masih bisa menulis dengan sangat bagus dalam keadaan sakit. Ia menulis didorong rasa kesepiannya. Kesepian yang amat dalam.
Tulisannya selesai. Tayang di media jurnalisme warga tempatnya berkontribusi. Selesai, lantas apa lagi yang ia cari? Apa lagi yang ia harapkan?
Menutup tabnya, Calvin kembali berjalan-jalan di seputaran area rumah sakit. Sakit di punggung dan perut bagian bawahnya tak ia pedulikan. Hipernefroma memang kejam. Harus ia lawan.
Lobi rumah sakit ia jejaki. Sakit ini menusuk dengan kuat. Calvin tak kuat lagi. Ia membungkuk, menahan rasa sakit. Sepasang mata sipit beningnya terpejam rapat. Apakah ini saatnya? Jika kematian lebih baik, maka segerakanlah. Toh ia tak punya harapan lagi. Diabaikan istri, ditinggal mati seorang putri, divonis infertilitas, dan digerogoti ganasnya kanker. Harta kekayaan, saham, perusahaan retail, dan berbagai aset hanyalah perhiasan dunia. Semua itu miliknya, namun tak memberi kebahagiaan sedikit pun.
"Hei...are you ok?"
Sepasang tangan halus menahan tubuhnya. Memapahnya ke tepi, lalu mendudukkannya di bangku.
Perlahan kedua matanya terbuka. Terlihat sesosok wanita mengenakan floral dress dan berwajah cantik. Wanita itu sangat anggun. Wajah sabarnya memancarkan kebaikan dan ketulusan hati.
"Thanks," ujar Calvin lirih.
"You're wellcome. Kamu kenapa?"
Jemari lentik si wanita baik hati terulur. Lembut mengusap keringat dingin di kening Calvin.
"Kamu kesakitan...adakah yang bisa kulakukan untuk membantumu?" tanya wanita itu lagi, suaranya begitu lembut.