Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Fiksi, Bermain-main dengan Kesedihan

3 Maret 2018   05:57 Diperbarui: 3 Maret 2018   14:12 1034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ditanya tujuan menulis, pasti jawabannya beragam. Ada yang menulis untuk mencari popularitas, mendapatkan penghasilan, berbagi informasi, atau sekadar mencari kepuasan pribadi. Young Lady sendiri punya beberapa tujuan menulis. Salah satunya adalah, bermain-main dengan kesedihan.

Eits, jangan dianggap bercanda. Ini serius. Pernahkah Kompasianer perhatikan? Tiap kali menulis fiksi di Kompasiana, isinya selalu sedih. Sebagian besar, atau bahkan semua ceritanya, menyiratkan kesedihan mendalam?

Itu semua ada tujuannya. Tak lain bermain-main dengan kesedihan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang mainstream untuk dituliskan. Sekaranglah saatnya mencari sesuatu yang tidak biasa untuk ditulis secara rutin: kesedihan.

Honestly, menulis fiksi dianggap Young Lady sebagai cara untuk bermain-main dengan kesedihan. Bermain-main dengan kesedihan, mempermainkan rasa sedih, menyublimnya menjadi cerita, menerbitkan kepuasan tersendiri. Seakan perasaan dan luka-luka di masa lalu sedikit terlampiaskan.

Seperti lirik lagunya Bunga Citra Lestari. Kuingin marah, pelampiasan, tapi ku hanyalah sendiri di sini. Young Lady cantik juga begitu. Ingin melampiaskan rasa kecewa, sedih, dan pedih akibat luka-luka di masa lalu. Tapi tak tahu harus bagaimana karena sendirian. Lalu, terbitlah solusi pelampiasan: menulis fiksi. Tulislah kesedihan di dalam cerita. Buat saja kepedihan, luka, kekelaman, kehilangan, dan kepedihan hati dalam cerita. Ungkapkan sedalam-dalamnya, agar rasa itu terlampiaskan.

Finally, Young Lady menjadi penulis cantik yang kejam. Kejam dalam bercerita dan mengubah nasib tokoh-tokoh cerita. Dua tahun lalu, mantan pertama mengatai Young Lady jahat. Jahat sebagai penulis, karena selalu membuat tokoh utama pria menderita. Justru hal seperti itu memberikan kepuasan tersendiri. Sudah saatnya wanita bangkit dan keluar dari zona patriarki, dimana wanita selalu lemah dan pria selalu lebih kuat serta berada di posisi teratas.

Kompasianers yang observant dan telah lama kenal pola cerita Young Lady cantik pasti sadar. Tokoh yang menderita selalu saja tokoh pria. Tokoh wanita, jarang sekali merasakan derita yang sama dengan pria. Itu suatu kesengajaan. Kesengajaan agar membuat dominasi tokoh wanita terlihat kuat dan bahagia.

Infertilitas, isu itulah yang sering diangkat Young Lady dalam cerita. Jujur saja Young Lady memendam kekecewaan dan kesedihan di dalam hati. Bila sudah ada kaitannya dengan infertilitas, selalu saja wanita yang jadi korban. Selalu saja wanita yang salah. Big no, padahal tidak semuanya begitu. Pria juga bisa salah. Bisa menderita, bisa divonis infertilitas karena penyakit dan penyebab lainnya. Hanya saja, selama ini posisi pria cenderung aman dan tidak mudah disalahkan. 

Sebaliknya, posisi wanita lemah. Ia rentan disalahkan. Nah, Young Lady ingin mematahkan stereotip itu lewat karya fiksi. Ingin membuka mata hati pembaca bahwa tak selamanya wanita yang salah. Pria juga bisa salah. Jangan hanya menyalahkan dan melayangkan tuduhan pada satu pihak saja. So, dalam kisah-kisah cantik buatan Young Lady, tokoh prialah yang infertil, bukan wanita. Lagi-lagi ini persoalan patriarki.

Isu lainnya yang sering tersorot adalah Muslim Non-Pribumi. Berawal dari kegemasan luar biasa mengenai anggapan terhadap Muslim. Kebanyakan Muslim diidentikkan sebagai Pribumi, kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, kulit sawo matang, mata hitam, dan agamanya orang-orang miskin. Namun, nyatanya tidak semuanya begitu. 

Ada pula Non-Pribumi yang beragama Islam. Bahkan sangat teguh memegang Islam. Yang bule, yang berkulit putih, yang bermata biru, yang bermata hijau, yang bermata sipit, yang kaya, yang pintar, yang cantik/tampan, yang bertalenta, yang sukses, yang pintar pun banyak yang Muslim. So, jangan lihat Muslim dari satu sisi. Jangan langsung menjustifikasi Islam sebagai agamanya Pribumi, agama orang miskin, bodoh, dan orang biasa. Tidak, tidak semuanya begitu. Itu poin lainnya yang ingin ditekankan Young Lady dalam karya fiksi di Kompasiana.

Back to topic. Menulis fiksi untuk bermain-main dengan kesedihan memberikan kepuasan batin. Terlalu lama disakiti makhluk Tuhan bernama laki-laki, Young Lady jadi tak percaya lagi pada jenis makhluk ciptaan Tuhan yang satu itu. Laki-laki kerjanya hanya bisa menyakiti dan menyulitkan wanita saja. 

Dianggapnya wanita lemah, lelaki kuat dan bisa berbuat apa saja. Dalam cerita, situasi berbalik. Tokoh-tokoh lelaki jatuh ke kaki wanita. Young Lady punya aturan main saat menulis cantik sebuah karya fiksi: tokoh wanita tidak boleh mati. Kalaupun ada yang harus mati, sakit parah, terzhalimi, mandul, menderita, diceraikan, bangkrut, tertipu, dan bermacam bentuk derita lainnya, itu harus dialami tokoh laki-laki. Tokoh wanita superior, tokoh pria inferior. Itu aturan main Young Lady. Tak dapat diubah-ubah lagi.

Karya fiksi sering kali dekat dengan kehidupan penulisnya. Bahkan, bisa jadi itulah cerminan diri penulisnya. Seperti itulah Young Lady dan fiksi-fiksi cantiknya di Kompasiana. Erat, dekat, hangat, dan saling berkaitan walau dibalut kesedihan mendalam.

Menyakiti tokoh pria dalam karya fiksi seakan membalas sakit hati di masa lalu yang diakibatkan makhluk Tuhan satu itu. Walau rasa sakitnya belum terbayar lunas. Tidak hanya di dunia fiksi, di dunia nyata pun Young Lady beberapa kali melakukannya dengan sengaja. Dengan kesadaran penuh, tanpa paksaan.

Cinta dan kasih datang mendekat. Dibawa oleh makhluk bernama laki-laki. Sering kali lelaki yang datang mencintai justru disakiti Young Lady. Entah karena rasa ingin semata, pelampiasan, atau justru karena rasa cinta yang berbalas. Bila Young Lady punya sejumput rasa sedikit saja, pada makhluk Tuhan bernama laki-laki, akan segera disakiti. Atau digores hatinya dengan pisau lipat, agar perih dan berdarah. Untuk apa? Semata untuk melindungi diri sendiri. 

Agar tak terlalu dalam mencinta, mengasihi, dan memberi hati yang baik. Bila lelaki sudah terlanjur dicintai wanita, ia akan semena-mena dan memperlakukan wanita sesuka hatinya. Membuangnya kalau sudah bosan. So, sebelum balik disakiti, lebih baik Young Lady duluan yang menyakiti. Semata demi proteksi diri.

Terkadang efeknya di luar dugaan. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Pria yang begitu baik dan menjadi inspirasi, berhasil dilukai dengan sukses. Dengan kesengajaan dan kesadaran penuh. Sesal ada, bercampur kepuasan. Seharusnya tinggalkan saja Young Lady. Namun ia tak pergi. Tetap menemani, walau perih seperti lagunya Vieratale. Makhluk aneh, pikir Young Lady sambil tertawa angkuh. Sudah disakiti, tapi tak mau pergi.

Risiko mencintai wanita korban pria-pria tak bertanggung jawab. Hasilnya, ada keinginan untuk berontak. Itulah Young Lady cantik, it's me. Ditambah lagi, Young Lady tidak punya role model lelaki ideal di rumah. Young Lady tak kenal figur ayah yang baik. Bagi Young Lady, yang namanya ayah sudah lama mati. Wujud fisiknya ada, tapi wujud kasih dan eksistensinya sebagai ayah tak ada sama sekali. Ayah mana yang senang menyakiti anak perempuannya?

 Kasar, tidak peduli, egois, dan luar biasa dalam menyakiti gadis bodoh nyaris buta. Young Lady tidak pernah bangga memiliki ayah seperti itu. Ayah yang menyia-nyiakan putrinya, balasan terpahit ada di akhirat. Biarlah pengadilan akhirat yang berbicara. Setidaknya, begitulah gambarannya. Itu baru ayah, belum lagi pria-pria tak bertanggung jawab lainnya yang pernah menyakiti teramat dalam.

So, jangan heran bila Young Lady cantik selalu menuliskan hal-hal kelam dan menyedihkan dalam cerita. Dan tokoh pria yang selalu tersakiti. Semua itu bersumber dari pengalaman masa lalu dan kasih sayang yang timpang.

Dalam dunia fiksi begitu, dunia nyata pun begitu. Makanya Young Lady sudah ikhlas bila hidup tanpa menikah. Mana ada pria yang tahan bersama Young Lady sebagai teman hidup? Kalaupun ada yang mengaku rela melewatkan sisa hidup untuk menemani Young Lady, pria itu bodoh atau sudah gila. Selain itu, Young Lady juga sangat selektif. Pemilih dan perfeksionis tingkat tinggi.

Dunia fiksi dan nyata berbanding lurus. Perih di masa lalu tertuang dalam karya fiksi. Kesedihan tercurah dalam untaian tulisan cantik penuh kelam dan siksa bagi tokoh pria.

Style karya fiksi Young Lady tidak hanya terletak pada selipan-selipan lirik lagunya. Tetapi juga pada permainan kesedihan di dalamnya. Permainan kesedihan yang melibatkan tokoh utama pria sebagai penderita.

Kompasianers, tidak bolehkah Young Lady menulis cantik dengan cara seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun