Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wanita Penyuka Calon Pastor, Apakah Sama Buruknya dengan Pelakor?

25 Februari 2018   06:20 Diperbarui: 25 Februari 2018   08:22 1394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelakor. Sekilas kata itu terdengar mengerikan. Memang kenyataannya mengerikan. Mungkin yang terbayang di benak kita tentang pelakor adalah wanita muda, cantik, seksi, materialistis, dan perebut suami orang.

Zaman now, pelakor dianggap sebagai momok menakutkan dalam pernikahan. Barangkali yang mampu mengalahkannya adalah vonis infertilitas. Pelakor sendiri singkatan dari perebut laki orang. Nah, di sini sudah ada kata perebut. Perebut sendiri berkonotasi negatif. Artinya orang yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

Intinya pelakor tak mendapat tempat di hati masyarakat. Mungkin ia sama buruknya seperti wanita penghibur, pecandu narkoba, teroris, pencuri, perampok, dan koruptor. Pelakor selalu disalahkan, dikejar-kejar, dihantui teror bertubi-tubi, dimaki, dan dibully di sosial media. Tak ada yang berpihak pada mereka.

Hello, kalian pikir dicap pelakor itu enak? Tidak, sama sekali tidak enak. Sebagai wanita cantik yang pernah dekat dengan beberapa duda dan pria beristri, Young Lady cantik mampu merasakan dampak psikologis yang dialami wanita-wanita yang dilabeli pelakor. Nasib jadi wanita cantik. Banyak dilirik, magnetnya mistik, pembawaannya simpatik, dan senyumnya lembut menggelitik.

Cobalah buka mata hati kalian. Apakah lelaki yang telah beristri lalu berselingkuh dengan pelakor, itu semua salah pelakor? Belum tentu, Honey. Belum tentu itu murni salah para pelakor. Bahkan bisa saja pelakor tidak salah sama sekali.

Lantas, siapa yang salah? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, salah si laki-laki beristri yang berselingkuh. Mungkin dia duluan yang memulai. Ini lumrah, tapi sering kali lelaki berpaling. Berpura-pura alim, sok suci di depan istri dan keluarga, lantas melimpahkan kesalahan pada si pelakor. Nyatanya, dirinya sendirilah yang memulai.

Kemungkinan kedua, si istri yang bersalah. Eits, jangan marah dulu. Bisa saja istri yang sudah tak secantik dulu, tak menarik lagi, tak bisa membuat suaminya nyaman, hanya bisa menyakiti hati suami. Lalu suaminya pergi. Melarikan diri dari pahitnya berumah tangga dengan wanita separuh makhluk gaib setengah monster yang dinikahinya bertahun-tahun lalu. Percayalah, orang berselingkuh pasti tak luput dari faktor internal. Peran pasangan tak lepas dari tumbuhnya bibit-bibit perselingkuhan. Kalau suaminya bermain di belakang dengan lain orang seperti kata Ran dalam lirik lagunya, jangan langsung menyalahkan dan minta cerai. Cobalah introspeksi diri dulu. Siapa tahu pihak istrilah yang membuat suami berpaling ke lain hati.

Kemungkinan ketiga, kesalahan suami dan istri. Nah lho, kok bisa? Bisa saja. Ketika pernikahan mulai terasa hambar. Saat tak ada lagi komunikasi, kemauan untuk meng-upgrade kebersamaan, dll, saat itulah keretakan dimulai. So, jangan salahkan bila wanita lain dapat menyerbu masuk dengan mudah. Mudah saja, seperti lagunya Sheila on 7.

Belum tentu pelakor yang salah. Mereka sering kali terjebak dalam situasi yang salah. Siapa yang mau dilabeli pelakor? Tidak ada. Bahkan, yang lebih berbahaya lagi, teori labelling akan berlaku. Terus-menerus dilabeli pelakor dan mendapat justifikasi negatif walau kenyataannya tak begitu, bisa-bisa wanita benar-benar menjadi pelakor. Ya sudah, toh sudah dilabeli pelakor. Sekalian jadi pelakor saja. Implikasi yang berbahaya.

Terserah kalian mau berkata apa pada Young Lady cantik. Bila kesannya Young Lady membela pelakor dalam tulisan cantik ini, ya itu benar. Young Lady takkan segan mengiyakan. Anggap saja tulisan cantik ini bentuk solidaritas untuk wanita-wanita cantik tak bersalah yang terlanjur dilabeli pelakor.

Ok, back to title. Actually, Young Lady menulis cantik dalam keadaan sangat tidak bahagia. Seperti membuka kembali luka lama. Menggoresnya dengan pisau hingga berdarah-darah.

Young Lady akui, pernah menjadi wanita penyuka calon pastor. Kompasianer tahu kan apa artinya itu? Menyukai pria yang terikat kaul selibat, tidak menikah sepanjang hidup. Mengakui pria yang sejatinya kekasih Kristus. Pria-pria yang virginitasnya tidak boleh lagi diotak-atik. Pria yang cinta dan kasihnya hanya untuk Yesus Kristus.

Dimata-matai Romo? Young Lady pernah mengalaminya. Diusir calon pastor yang tampan? Pernah juga. Ah, itu menyakitkan. Semuanya berubah sejak negara api menyerang...ups, itu kan Avatar. Maksudnya, semuanya berubah sejak calon pastor tampan my prince charming itu tak ada. Walau sebenarnya mantan-mantan kekasih dan beberapa pria yang sempat dekat dengan Young Lady jauh lebih tampan dari dia, namun sosok yang satu itu tetaplah rupawan dan takkan terlupa. Hal inilah yang membuat Young Lady tak bahagia hingga kini. Seharusnya, tahun ini ia sudah ditahbiskan sebagai Imam. Sakit sekali bila mengingatnya.

Dengan segala kerelaan hati, Young Lady paham bila jalannya adalah sebagai gembala. Kekasih Kristus, pelayanNya yang setia, taat, selibat, dan sederhana sesuai tiga kaul kebiaraan: keperawanan, kemurnian, kemiskinan. Kini, agar tak terlalu sedih, Young Lady mencoba mengasihi orang-orang yang dekat dan balas mengasihi Young Lady. Orang tua, sahabat-sahabat terdekat di masa kecil, beberapa Kompasianer cantik dan tampan yang care, orang-orang yang mendapat makanan yang dibagikan Young Lady tiap Hari Jumat, dan "Calvin Wan" pembaca buku, dan story teller Ayat-Ayat Cinta 2 itu. Namun tetap saja, pedih akibat luka yang belum mengering masih terasa.

Pertanyaannya adalah, apakah wanita penyuka calon pastor sama rendahnya seperti pelakor di mata publik? Dan apakah pelakor serendah itu? Tidak bisakah kita berhenti memaki, menjustifikasi, dan melabeli pelakor begitu cepat? Tidak semua pelakor itu bersalah. Para istri sering kali mencaci-maki dan menyalahkan. Bahkan menyakiti pelakor secara fisik dan mental. Menyebut-nyebut tentang hati nurani. Lantas, para istri sendiri dimana hati nuraninya ketika menyakiti para pelakor dengan buas? Apakah bentuk penyiksaan jiwa-raga itu menggunakan nurani yang bersih? Sebelum menyalahkan pelakor, sebaiknya para istri refleksi dulu. Coba cari tahu mengapa suami kalian yang sangat dibanggakan itu berselingkuh. Bisa jadi itu karena salah para istri sendiri. Bukankah hukum sebab-akibat berlaku?

Para istri boleh marah pada Young Lady. Silakan saja, Young Lady tidak takut. Tetapi sebelumnya, pastikan dulu penyebab para suami berpaling.

Pikir saja dengan logika. Jangan dulu banyak melibatkan perasaan. Misalnya saja, posisinya dibalik. Bila para istri itu pelakor, kemudian kalian dimaki-maki, disakiti, dilabeli, dan dituduh macam-macam. Akan sakit hatikah kalian? Relakah kalian disalahkan atas perbuatan yang tidak kalian lakukan? Pasti tidak rela, kan? Kita bermain simpel saja di sini.

Dari pada menyalahkan pelakor, lebih baik refleksi diri dulu. Cari tahu apa yang salah. Setelah itu, cobalah perbaiki. Cari jalan keluar terbaik. Bila ditemukan jalan tengah, syukur. Bila tidak, ya serahkan saja pada Tuhan.

Cari tahu pula apa keunggulan dan kelemahan wanita-wanita yang tertuduh sebagai pelakor. Apakah mereka lebih cantik, lebih cerdas, lebih sempurna? Nah, setelahnya itu bisa menjadi referensi para istri untuk berubah lebih baik lagi. Wanita kebanyakan pakai hati, bukannya logika. Sehingga mudah emosi dan bertindak cepat tanpa berpikir. Itu sebabnya para pelakor kerap kali jadi korban.

Eits, dan wanita penyuka calon pastor pun ikut jadi korban. Korban mata-matanya Pastor pembimbing, korban pengusiran dari rumah retret, dan korban hati yang terluka. Barangkali wanita penyuka calon pastor sama buruknya dengan pelakor. Ya sudah, terima saja. Mau bagaimana lagi?

Lebih jauh lagi, apakah wanita-wanita yang dinikahi mantan Frater/Romo/Bruder juga sama buruknya seperti pelakor? Padahal banyak sekali wanita seperti itu di dunia, dan banyak dari mereka sangat religius. Apakah mereka mendapat tempat yang sama seperti pelakor? Lantas, apakah wanita-wanita yang berstatus sebagai istri kedua, ketiga, dan seterusnya juga sama rendahnya seperti pelakor? Apakah surrogate mother, pendonor sel telur, dan semacamnya juga sama jeleknya seperti pelakor? Kalau iya, sungguh penilaian yang tidak adil.

Kejamnya dunia, termasuk di antaranya penilaian yang tidak adil. Wanita yang tidak bersalah dipersalahkan, ditakut-takuti, diawasi, dan dilukai. Begitukah cara memperlakukan wanita? Begitukah cara menegur wanita yang lembut? Apakah wanita-wanita yang dianggap bersalah tidak punya kesempatan untuk membela diri? Mengapa penilaian pada kami, yang dianggap penggoda dan perusak, selalu saja tidak adil?

Di saat seperti ini, Young Lady cantik sungguh merasa tak berdaya. Seperti itu pulalah yang dirasakan wanita-wanita berlabel pelakor di luar sana. Sepi, sendiri, gloomy, tak dimengerti, tak dicintai, hanya menjadi aib. Tak sadarkah kalian para penghujat dan pembully? Tak tertutup kemungkinan bahwa wanita penggoda, wanita berlabel pelakor, derajatnya justru lebih baik di mata Tuhan? Sungguh, para manusia tidak berhak menilai sejauh itu.

Kompasianers yang berhati lembut dan punya nurani, Young Lady harap kalian tidak cepat-cepat menjatuhkan penilaian dan membenci seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Pedih ini masih terasa. Kalian takkan mengerti bagaimana rasanya. Hingga detik ini, belum ada yang bisa membasuh luka hati sampai darahnya bersih tak berbekas. Kompasianer, adakah di antara kalian yang mau membantu Young Lady cantik mengobati luka ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun