Samar-samar ia merasakan tubuhnya diangkat. Beberapa orang berbisik. Disusul hardikan seseorang. Lalu terdengar suara kain diperas. Sesuatu yang hangat menyentuh kulitnya. Disusul wangi sabun.
Air hangat lagi. Gerakan yang lembut tetapi tegas berulang-ulang menyentuh tubuhnya. Calvin tahu pasti, siapa yang melakukan ini untuknya.
"Terima kasih ya," kata pemilik suara dan tangan yang menyeka tubuhnya itu, tak lain Adica.
"Sejak kamu sakit, aku belajar banyak hal baru. Belajar bersabar, belajar ilmu kedokteran, belajar tentang kanker, dan belajar memandikan orang sakit."
Ya, kini Adica sudah banyak berubah. Lebih sabar. Meskipun masih sedingin sebelumnya. Lebih pengertian dan peka terhadap orang-orang sakit. Ilmunya bertambah tentang penyakit kanker dan penanganannya.
"Tak ada hari libur untuk mencintai...kau tahu itu, kan?"
Calvin tersenyum. Kini Adica membantunya berpakaian.
"Aku tak mengerti mengapa kamu suka warna hitam." ujar Adica.
"Sejak kamu bercerai dengan Silvi, hampir setiap hari kamu memakai pakaian hitam."
"Hitam tanda duka, Adica. Sepertinya aku masih belum bisa lepas dari rasa kehilangan." jelas Calvin.
Tak mampu merespon, Adica terdiam. Ia memahami, sangat memahami. Hati kakaknya hancur sejak perceraian itu. Sejak hati dan tubuhnya terpisah dari Silvi. Kenyataan pahit lainnya, ia harus merelakan Silvi bersama Revan.