Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Masih berharap kau untukku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).
Denting lembut piano mengiringi nyanyiannya. Jemari lentik Calvin bergerak di atas bidang hitam-putih itu. Piano, hanya instrumen musik satu ini yang bisa dinyanyikannya.
Bermain piano dapat mengusir kegundahan. Kegundahan hidup yang dihadapinya. Seperti inikah hidup yang ideal dan sempurna? Tidak, Calvin tidak menginginkan semua ini.
Siapa pula yang menginginkan tubuhnya digerogoti penyakit seganas Hipernefroma? Tidak ada, sungguh tidak ada. Penyakit yang membuatnya harus melepaskan cinta seorang wanita. Penyakit yang membawanya pada keputusasaan dan kesendirian.
Karena penyakit ini, keluarga besar menganggapnya istimewa. Memperlakukannya seperti porselen yang mudah pecah. Tidak, Calvin tidak ingin diperlakukan seperti itu. Keinginannya sederhana: menjadi pria biasa. Hidup normal dan bahagia. Nyatanya tidak. Hipernefroma membuatnya berstatus sebagai pria tak biasa.
Dokter Rustian, Adica, dan Syifa mendekat. Mereka mendekat dengan sapuan kesedihan di wajah. Refleks Calvin mengalihkan pandang. Haruskah mereka memasang wajah sedih di depannya? Tidakkah mereka tahu, hatinya perih mendapati mereka bersedih karena dirinya?
Dengan lembut tetapi erat, Adica mengangkat tubuh Calvin. Mendudukkannya di kursi roda, mendorong kursi roda itu ke dalam kamar.
"Berhenti, Adica." kata Calvin perlahan.
Spontan Adica menghentikan laju kursi roda. Menatap kakaknya penuh tanya.
"Kenapa, Calvin?"
"Aku tidak mau pakai kursi roda,"
"Tapi..."
"Aku kuat. Aku masih bisa berjalan sendiri."
Syifa menautkan alisnya. Dokter Rustian mulai cemas. Sementara Adica menatap Calvin tajam.
"Mampukah seorang penderita kanker ginjal yang kelelahan selesai kemoterapi dan cuci darah berjalan sendiri?" tanya Adica ragu.
"Aku bisa. Jangan terlalu banyak khawatir."
Sesaat si anak tengah yang sangat sayang pada kakaknya itu ingin mendebat. Namun Syifa memberinya tatapan memohon. Adica menyerah. Mengawasi dengan cemas saat Calvin bangkit dari kursi rodanya.
"Kak Calvin, are you ok?" Syifa berbisik lembut, sorot matanya memancarkan kekhawatiran.
"I'm ok, Syifa." Calvin menjawab, tak kalah lembut. Menenangkan.
Sejurus kemudian Calvin melangkah kembali ke kamarnya. Syifa mendesah pasrah, mundur dengan wajah kusut. Usapan tangan Dokter Rustian sama sekali tak menenangkannya.
"Aku takut..." ungkap Syifa.
"Kondisinya tidak stabil. Dia hanya berpura-pura kuat di depan kita."
"Tenanglah, Syifa. Calvin akan baik-baik saja."
Jika Dokter Rustian berharap kata-katanya bisa menenteramkan, ternyata keliru. Syifa justru bertambah resah. Gadis cantik itu terus mengkhawatirkan Calvin.
Rumah besar di lereng bukit itu diselimuti atmosfer kemuraman. Muram dan sakit, seperti salah satu penghuninya. Adica dan Syifa bersandar letih di depan pintu kamar. Semalaman mereka tak tidur. Waktu mereka habis untuk Calvin.
"Dan mengapa..." desis Adica.
"Dia belum melepas jas hitam itu?"
Ketakutan, Syifa mencengkeram erat lengan kakak keduanya. Ingatannya melayang ke arah momen beberapa jam sebelumnya. Sebuah pemaksaan diri yang kelewatan. Selesai kemoterapi dan hemodialisa, Calvin nekat memimpin rapat di kantornya. Lalu mengikuti sesi pemotretan. Kenekatan yang tak dapat dicegah.
Kian dalam ketakutan Syifa. Air mata meleleh di pipinya.
"Apa yang harus kulakukan agar Kak Calvin sehat dan bahagia?" isaknya.
** Â Â Â
Calvin terbaring tak bergerak, tak bergerak, tak bergerak. Mengenakan jas hitam, Calvin berbaring di lantai. Ia berbaring miring, dengan kedua lutut tertekuk dan tangan bersedekap di bawah perutnya.
Siapa sangka, pria setampan, sekaya, dan sesempurna Calvin Wan patah hati dan kesepian. Hidup sendiri tanpa menikah, melepaskan cinta seorang wanita, tidak mampu memiliki keturunan, dan kesakitan karena kanker. Adakah derita yang lebih menyakitkan? Calvin merasakan itu semua.
Menakutkan, sungguh menakutkan melihat Calvin berbaring tak bergerak lantaran kepedihan. Hati Calvin telah mati rasa. Tak dapat lagi takut pada deritanya sendiri. Justru orang lain yang memendam rasa takut mendapati saat-saat terkelam itu terjadi.
Saat menakutkan itu telah tiba. Pria mana pun yang melihat Calvin saat ini pastilah merasakannya. Saat-saat menakutkan yang begitu berat. Terbaring tanpa gerakan di lantai, tenggelam dalam kesepian dan patah hati. Sungguh menakutkan.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H