"I'm ok, Syifa." Calvin menjawab, tak kalah lembut. Menenangkan.
Sejurus kemudian Calvin melangkah kembali ke kamarnya. Syifa mendesah pasrah, mundur dengan wajah kusut. Usapan tangan Dokter Rustian sama sekali tak menenangkannya.
"Aku takut..." ungkap Syifa.
"Kondisinya tidak stabil. Dia hanya berpura-pura kuat di depan kita."
"Tenanglah, Syifa. Calvin akan baik-baik saja."
Jika Dokter Rustian berharap kata-katanya bisa menenteramkan, ternyata keliru. Syifa justru bertambah resah. Gadis cantik itu terus mengkhawatirkan Calvin.
Rumah besar di lereng bukit itu diselimuti atmosfer kemuraman. Muram dan sakit, seperti salah satu penghuninya. Adica dan Syifa bersandar letih di depan pintu kamar. Semalaman mereka tak tidur. Waktu mereka habis untuk Calvin.
"Dan mengapa..." desis Adica.
"Dia belum melepas jas hitam itu?"
Ketakutan, Syifa mencengkeram erat lengan kakak keduanya. Ingatannya melayang ke arah momen beberapa jam sebelumnya. Sebuah pemaksaan diri yang kelewatan. Selesai kemoterapi dan hemodialisa, Calvin nekat memimpin rapat di kantornya. Lalu mengikuti sesi pemotretan. Kenekatan yang tak dapat dicegah.
Kian dalam ketakutan Syifa. Air mata meleleh di pipinya.