Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka untuk Mereka: Saya Mendengarkan dengan Sabar

11 Februari 2018   06:44 Diperbarui: 11 Februari 2018   08:13 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditambah lagi kubu-kubu yang tercipta. Itu satu poin lagi yang layak disesalkan. Grup dan candaan di dalamnya hanya kamuflase. So, saya tidak pernah terlarut bersama kalian. Sepi di tengah keramaian, itulah yang saya rasakan.

Jangan heran bila saya tak pernah terlibat momen-momen kebersamaan dengan kalian. Seperti waktu program field trip semester lalu, saya lebih memilih pergi sendiri ditemani kedua orang tua saya yang over protektif dan mengaku punya persediaan kasih yang super super banyak. Mana mungkin saya dibiarkan bersama kalian yang jelas-jelas punya ego yang tinggi dan cenderung individualis?

Ok fine, beberapa di antara kalian ada yang kelihatannya lumayan. Good looking, bisa dipercaya untuk beberapa hal, dan bukan penggosip. Namun tetap saja saya temukan ketidakcocokan yang membuat saya menjauh. Kesempurnaan sejati memang sulit dicari, tetapi saya pikir kita bisa mengejarnya hingga mencapai titik yang paling mendekati kesempurnaan sejati.

Bukan hanya saya yang menaruh pandangan seperti ini. Seorang senior cantik yang dekat dengan saya, dan mengambil kelas dengan kalian pun berpendapat serupa. Bukan kelas yang wellcome, begitu katanya. I agree with her.

Honestly, tak saya temukan sedikit pun kenyamanan. Kebaikan dan keramahan yang kalian pertontonkan di depan wajah saya hanya semu. Kepura-puraan, entah karena rasa iba, ingin memanfaatkan, atau mengambil hati. Sebab kalian tahu siapa saya.

Saya ada ketika kalian mendapat masalah. Saya bantu semampunya ketika kalian meminta. Saya dengarkan dengan sabar ketika kalian dibutuhkan. Tapi, sebaliknya?

Ketika saya sedih, apakah kalian ada di samping saya? Ketika saya tertimpa masalah, apa tangan-tangan kalian hadir untuk menguatkan? Saya ingat, salah satu dari kalian pernah berkata,

"Kamu bijak...pasti bisa mengatasi masalah kamu sendiri. Udah ya, bye."

Begitu...itu tepat beberapa menit sebelum saya peluk potret seorang pria muda tampan calon rohaniwan yang masih saya cinta hingga detik ini. Kalian tinggalkan saya, kan? Kalian tak tahu kan, saya saat itu sedang terluka dan patah hati?

Tiap kali kalian datangi saya, pasti motifnya hanya dua: curhat dan ada butuhnya. Tidak pernah kalian datang pure dengan maksud menyapa atau memberikan perhatian. Begitukah cerminan mahasiswa yang ideal? Individualis, egois, dan hanya datang ketika membutuhkan sesuatu?

Waktu awal-awal semester 1, satu di antara kalian pernah merebut hati saya. Sebut saja namanya Calvin, dan dia berteman dengan lainnya lagi, sebut saja namanya Jeremy (nah lho, seperti nama penyanyi tampan favorit saya). Calvin pemuda yang sangat tampan. Hatinya lembut, kepribadiannya baik, otaknya brilian, pokoknya perfectlah. Tak hanya itu, Calvin tipe pria penyayang anak-anak. Itu makin membuat saya meleleh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun