Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka untuk Mereka: Saya Mendengarkan dengan Sabar

11 Februari 2018   06:44 Diperbarui: 11 Februari 2018   08:13 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.stihi.ru

Surat cantik ini hanya ungkapan perasaan Young Lady saja. Tak satu pun teman sekelas yang tahu tentang Kompasiana.

**      

Paris van Java, 10 February 2018

Dear all my classmates,

Banyak keganjilan yang saya temukan dalam diri kalian. Raut wajah manis yang tersembunyi di balik hati yang sulit ditebak. Sikap manis yang dipaksakan.

Actually, kalianlah satu dari beberapa alasan terbesar yang membuat saya ingin angkat kaki dari tempat itu. Sikap kalianlah yang menciptakan atmosfer yang jauh dari kata nyaman. Rasa ingin meninggalkan terus mendesak hati tanpa henti.

Kesan saya tentang kalian hancur berantakan. Awalnya melihat kesan baik terhampar di depan mata. Kini semuanya terurai lepas.

The freaky class, boleh saya katakan begitu. Isinya anak-anak yang hanya dewasa secara fisik dan hormonal, namun tidak secara psikis dan mental. Terbukti dari teguran yang dilayangkan para dosen pada kalian minggu lalu. Ketika salah satu dari kalian tersenyum meremehkan ketika pemberian materi dilakukan. Kalian tahu? Sesungguhnya kelas kalian sedang diawasi oleh banyak dosen. Saya tahu itu, saya dengar dan ketahui semuanya.

Saya sebut itu kelas kalian, bukan kelas kita. Sebab diri saya enggan tergabung dengan kalian. Secara tidak langsung, diri dan jiwa saya terpisah dari kalian.

Sebenarnya, semua ini pun karena ulah kalian sendiri. Dimulai dari cinta lokasi. Pacaran dengan teman sekelas, berkubu-kubu, bla bla bla. Ujung-ujungnya ada yang putus dengan tidak baik-baik lalu bermusuhan. Itulah akar permasalahan. Sejak semester 1 hingga semester 6, sudah tergelar berulang kali drama cinta cheesy dan murahan di kelas kalian. Kalian pikir saya iri? Tidak, sama sekali tidak iri. Silakan saja bila seluruh gadis dalam kelas kalian ditaksir seluruh pemuda dalam kelas yang sama, dan menyisakan saya sendiri yang tidak dilirik. Itu artinya, saya jauh lebih baik dan high quality dari kalian, sehingga tidak ada yang sanggup dan berani melirik. Positif saja.

Namun, itulah yang menjadi sorotan para dosen. Secara implisit, ada kritik tersembunyi pada sikap-sikap yang berlebihan. Pamer kemesraan di kelas, sementara perkuliahan sedang berlangsung. Hingga mereka semua tahu dan jadilah poin yang tersorot.

Ditambah lagi kubu-kubu yang tercipta. Itu satu poin lagi yang layak disesalkan. Grup dan candaan di dalamnya hanya kamuflase. So, saya tidak pernah terlarut bersama kalian. Sepi di tengah keramaian, itulah yang saya rasakan.

Jangan heran bila saya tak pernah terlibat momen-momen kebersamaan dengan kalian. Seperti waktu program field trip semester lalu, saya lebih memilih pergi sendiri ditemani kedua orang tua saya yang over protektif dan mengaku punya persediaan kasih yang super super banyak. Mana mungkin saya dibiarkan bersama kalian yang jelas-jelas punya ego yang tinggi dan cenderung individualis?

Ok fine, beberapa di antara kalian ada yang kelihatannya lumayan. Good looking, bisa dipercaya untuk beberapa hal, dan bukan penggosip. Namun tetap saja saya temukan ketidakcocokan yang membuat saya menjauh. Kesempurnaan sejati memang sulit dicari, tetapi saya pikir kita bisa mengejarnya hingga mencapai titik yang paling mendekati kesempurnaan sejati.

Bukan hanya saya yang menaruh pandangan seperti ini. Seorang senior cantik yang dekat dengan saya, dan mengambil kelas dengan kalian pun berpendapat serupa. Bukan kelas yang wellcome, begitu katanya. I agree with her.

Honestly, tak saya temukan sedikit pun kenyamanan. Kebaikan dan keramahan yang kalian pertontonkan di depan wajah saya hanya semu. Kepura-puraan, entah karena rasa iba, ingin memanfaatkan, atau mengambil hati. Sebab kalian tahu siapa saya.

Saya ada ketika kalian mendapat masalah. Saya bantu semampunya ketika kalian meminta. Saya dengarkan dengan sabar ketika kalian dibutuhkan. Tapi, sebaliknya?

Ketika saya sedih, apakah kalian ada di samping saya? Ketika saya tertimpa masalah, apa tangan-tangan kalian hadir untuk menguatkan? Saya ingat, salah satu dari kalian pernah berkata,

"Kamu bijak...pasti bisa mengatasi masalah kamu sendiri. Udah ya, bye."

Begitu...itu tepat beberapa menit sebelum saya peluk potret seorang pria muda tampan calon rohaniwan yang masih saya cinta hingga detik ini. Kalian tinggalkan saya, kan? Kalian tak tahu kan, saya saat itu sedang terluka dan patah hati?

Tiap kali kalian datangi saya, pasti motifnya hanya dua: curhat dan ada butuhnya. Tidak pernah kalian datang pure dengan maksud menyapa atau memberikan perhatian. Begitukah cerminan mahasiswa yang ideal? Individualis, egois, dan hanya datang ketika membutuhkan sesuatu?

Waktu awal-awal semester 1, satu di antara kalian pernah merebut hati saya. Sebut saja namanya Calvin, dan dia berteman dengan lainnya lagi, sebut saja namanya Jeremy (nah lho, seperti nama penyanyi tampan favorit saya). Calvin pemuda yang sangat tampan. Hatinya lembut, kepribadiannya baik, otaknya brilian, pokoknya perfectlah. Tak hanya itu, Calvin tipe pria penyayang anak-anak. Itu makin membuat saya meleleh.

Sampai-sampai di penghujung semester, Calvin datang ke Rumah Cinta. Ia gendong anak kecil pengidap kanker itu dengan penuh kasih. Sikap-sikap fatherly dan ketulusan terpancar darinya. Salute.

Unfortunately, kesempurnaan hati seorang Calvin hancur sudah ketika ia dipengaruhi hal-hal negatif oleh Jeremy. Calvin terbawa pengaruh Jeremy. Ia berubah drastis. Tak lagi lembut, baik, penurut, dan penyayang seperti dulu. Hal itu sangat saya sesalkan dan disesalkan pula oleh para gadis yang jatuh hati padanya.

Perubahan Calvin lantaran pengaruh negatif Jeremy belum apa-apa. Saya pernah merasakan banyak lagi yang jauh lebih parah dari itu. Dikeluarkan dari team setelah dimanfaatkan kebaikan dan kepintarannya, disalahgunakan kepercayaannya, diperlihatkan kenyataan pahit tentang teman cantik yang menginjak night club, dihadiahi sikap manis, religius, dan sempurna padahal kenyataannya berbanding terbalik, disuguhi teman tak terlalu cantik yang telah membocorkan informasi, dan masih banyak lagi. Makanya, jangan heran kalau saya tak pernah mau ajak kalian atau melibatkan kalian dalam berkegiatan sosial. Percuma, sia-sia saja.

Satu hal lagi yang membuat saya terperangkap. Gadis itu, sebutlah namanya Nasywa, "merasa dekat" dengan saya. Sejak semester 1 hingga 6, dia terus membanjiri saya dengan ucapan-ucapannya. Saya tahu pasti, Nasywa hanya butuh didengarkan. She's a good speaker, not a good listener. I'm a good listener. Begitulah saya menempatkan diri, atau dipaksa menempatkan diri di hadapannya. Nyonya Besar pun tak menyukainya. Sebab Nyonya Besar tahu, Nasywa hanya memanfaatkan saya demi kepentingannya sendiri.

Nasywa memanfaatkan titik lemah saya. Sulit menolak permintaan orang lain. Ketika Nasywa memberanikan diri mengikuti pemilihan duta wisata, dia minta tolong saya. Dia minta bimbingan dan arahan saya. Dia sering minta waktu saya untuk melatihnya sebelum ajang pemilihan. Latihan public speaking, tallent show, modeling, dan pose. Saya ajari sebaik-baiknya. Dia pun sering menanyai pengalaman saya di ajang serupa. Saya jawab apa-apa yang dia tanyakan.

Hati siapa yang bisa memungkiri? Saya tak pernah nyaman bersama Nasywa. Celakanya, dia terus-terusan mengikuti dan menghalangi langkah saya. Hingga saya tak punya ruang untuk bernafas dan bergerak di dalam kelas. Lebih parah lagi, Nasywa dijauhi dan di-bully teman-teman sekelas. Tidak ada satu pun yang menerima dirinya dengan baik sebaik perlakuan saya padanya. Ini pula yang membuat saya heran: mengapa saya sering didekati anak-anak bermasalah atau korban-korban bullying? Why should I? Saya tak mengerti.

Nasywa, saya mendengarkan kamu dengan sabar. Saya peduli padamu, saya selalu baik padamu, meski Nyonya Besar Mommy zaman old, alias Mommy saya, tidak menyukaimu. Tapi, nampaknya saya sudah mulai melihat pola interaksimu. Kamu tak ubahnya seperti manusia-manusia lainnya di dalam kelas: hanya hadir di saat perlu. Dan kamu memerlukan saya tiap hari untuk bercerita dan berkeluh kesah. Saya tempatkan diri sebagai pendengar, bukan pembicara. Dan saya tidak pernah mengharap kamu membalas kebaikan serta kepedulian saya. Bukankah kebaikan sejati adalah saat kita berbuat baik pada orang yang takkan bisa membalasnya?

Saya tahu, kamu bukan orang yang bisa memedulikan orang lain. Kamu tak pernah bertanya, kamu hanya terus, terus, dan terus bicara. Terus menggerogoti batu karang kesabaran saya dengan umpatanmu, keluh-kesahmu, penyesalanmu, hijrah yang kaupaksakan demi laki-laki yang mengaku alim dan katanya kaucintai, dan setumpuk hal negatif lainnya yang kautumpahkan ke kepala saya. Tiga setengah tahun terakhir ini saya mendengarkan kamu dengan sabar. Kamu anggap saya sebagai sahabat. Ok, good. Saya akan jadi apa yang kamu inginkan. Sayangnya, kamu tak bisa saya anggap sahabat. Karena yang saya tahu, persahabatan itu harus ballance. Take and give. Bukannya salah satu pihak yang terus-menerus memberi, sementara yang lain terus menerima. Itu baru hubungan persahabatan yang sejati menurut saya. Sepertinya, kalau antara saya dan kamu, alurnya tidak begitu. Dan...sahabat mana yang mengeluarkan sahabatnya dari team setelah bekerja keras dan mengeluarkan kepintaran otak untuk menyelesaikan semuanya? Kamu yang mengeluarkan saya dari team, Nasywa. Saya sudah sering memaafkan kamu, memberi kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya. Apa jangan-jangan karena ini? Karena saya dianggap bisa memaafkan semua kesalahan, dianggap sebagai good girl, tak pernah berbicara kasar seperti kebanyakan gadis di kelas saya, hingga mereka segan dan tak mau terlalu dekat dengan saya? Apakah berusaha menjadi terlalu sempurna justru membuat mereka enggan mendekati?

Tapi, saya juga manusia biasa. Hypnotherapyst, sosok inspiratif, special lady, atau apa pun predikat yang diberikan teman-teman pada saya, saya tetaplah manusia biasa. Punya titik lelah, punya daya dan kekuatan yang bisa-bisa melemah. Makanya saya cari pelampiasan di luar, bukan di dalam. Saya temukan kenyamanan di luar, bersama orang-orang yang punya percikan darah lain seperti mereka. Saya cari hati yang lain untuk menyandarkan kerapuhan. Selain Calvin, tak ada laki-laki di tempat itu yang dekat dengan saya. Sejak Calvin terbawa pengaruh Jeremy pun, saya memutus rantai kedekatan dan pergi sejauh-jauhnya.

Surat terbuka ini hanya ungkapan kelelahan hati. Jenuh luar biasa yang saya rasakan. Tertumpah di surat ini. Saya seperti perempuan-perempuan lainnya di luar sana, ingin didengarkan. Ingin diberi kata-kata lembut. Ingin diberi penguat di tengah rasa yang mengepung jiwa.

Untuk itulah saya butuh kamu. Kamu siapa ya? Hmmmm.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun