Calvin tak berdaya. Ruangan berlangit-langit putih, berlantai putih, dan berdinding putih ini seperti penjara. Penjara yang membelenggu mimpinya.
Dokter ahli layaknya hakim jahat yang menjatuhkan vonis seraya mengetuk palu. Palu kematian untuk mimpinya. Sampai kapan pun, Calvin Wan takkan pernah menjadi seorang ayah.
** Â Â Â
Alunan Fur Elise ia mainkan dengan jemari lentiknya. Silvi bermain piano sepenuh jiwa. Ia menunggu, menunggu suami super tampannya pulang.
Masih terlintas barisan kata dalam e-mail yang dikirimkan Bundanya. Bukan e-mail biasa.
"Setahun lagi belum memberi Bunda cucu, ceraikan. Kamu berhak bahagia."
Klise. Layaknya kisah-kisah dalam novel atau film. Pasangan yang menikah, bertahun-tahun tak punya keturunan, lalu didesak oleh orang tua untuk segera memberikan keturunan. Kisah yang klise dan murahan ini malah terulang dalam rumah tangga Silvi. Namun ini tak biasa. Bila kebanyakan wanita yang disalahkan, kali ini justru pria yang disalahkan. Kenyataannya, Calvinlah yang tak mampu. Kondisi kesehatannya terlalu lemah untuk mendapatkan itu.
Semburat jingga keemasan terpeta di kaki langit. Senja turun dengan indah. Kedua tangan Silvi terlipat di depan dada. Ia harap, indahnya senja bersamaan dengan indahnya kabar yang dibawa Calvin saat ia pulang nanti. Amat besar harapan Silvi.
Reminder di smartphonenya berbunyi. Sedetik kemudian wanita bermata biru blasteran Sunda-Inggris itu teringat. Shalat gerhana, pikirnya. Saatnya berdoa dan bermunajah pada Allah.
** Â Â Â
Sengaja pria tampan berwajah oriental dan bermata sipit itu menunda untuk pulang. Ia takut bertemu Silvi. Bukannya takut dengan percik amarah. Melainkan takut melihat rona kecewa di wajah istrinya.
Shalat gerhana di salah satu masjid eksekutif yang dilewatinya bukan sekadar alasan. Ia memang ingin menghadapkan diri dan hatinya pada Illahi. Ingin bersujud ketika fenomena alam berupa gerhana bulan total tersaji sempurna di atas langit. Diam-diam hatinya menerbitkan tanya. Apakah Silvi melakukan hal yang sama?
"Calvin...Calvin."
Seseorang memanggil namanya tepat ketika kakinya menaiki anak tangga masjid. Refleks ia berbalik.
"Hai Nico," sapanya, tersenyum ramah pada teman lamanya. Nico, seorang pebisnis sukses, putra tunggal konglomerat yang membangun masjid eksekutif ini.
"Kamu jadi imam shalat gerhana ya?" pinta Nico tetiba.
Kedua alis Calvin terangkat. "Why? Kenapa harus aku? Yang lain saja."
"Semua imam yang biasa bertugas di sini berhalangan. Come on...hanya kamu yang bisa kupercaya untuk menggantikan mereka."
"Wait wait, imam berarti harus jadi khatib juga kan?"
"Yups. Kamu bisa kok. Pasti bisa."
Lembutnya hati Calvin membuat ia tak mampu menolak. Di tengah kegamangan hati, dalam pilunya hati akibat kegagalan terapi penyembuhan infertilitas, Calvin malah dipercaya menjadi imam shalat gerhana.
"Ok, aku mau. Beri aku waktu untuk bersiap-siap." kata Calvin akhirnya.
Nico tersenyum cerah. Ditariknya tangan Calvin ke ruangan takmir. Calvin duduk sebentar untuk mempelajari materi khutbah yang akan disampaikannya. Mengingat-ingat lagi tata cara shalat gerhana. Sementara di ruang utama masjid, takbir terus terdengar. Nico menemaninya.
"Sudah siap?" tanya Nico hati-hati.
"Ok siap. Bismillahirrahmannirahim."
Melangkah ke ruang utama masjid, Calvin langsung disambut tatapan-tatapan kagum dan penasaran dari para jamaah. Calvin nervous. Banyak juga jamaah yang hadir. Pastilah jumlahnya melebihi jamaah shalat pada biasanya. Barangkali jumlahnya mencapai seratus lima puluh jamaah.
"Nico, kamu yakin?" Suara Calvin bergetar.
"Yakin kok. Kamu pantas jadi imam. Suara kamu bagus. Kamu juga tampan dan kharismatik, Calvin."
Ah, Nico tak tahu. Betapa gundahnya hati Calvin saat ini.
Bisik-bisik mulai terdengar. Ruangan utama masjid yang nyaman dan berAC seakan dipenuhi dengung ratusan lebah. Tak salah lagi, para jamaah membicarakan imam muda yang akan memimpin mereka shalat gerhana.
"Ya Allah, kuatkan hatiku." bisik Calvin tanpa sadar.
Ia pun mulai bicara. Mengucap salam. Sontak jamaah terdiam, khusyuk mendengarkan arahan darinya tentang tata cara shalat gerhana.
"Shalat gerhana tergolong sunnah muakkad, artinya sunnah yang dianjurkan. Kita akan melakukan shalat gerhana sebanyak dua rakaat, dengan dua kali ruku di tiap rakaatnya. Dua kali surah Al-Fatihah, lalu surah Al Baqarah dan Ali Imran."
Jamaah mengangguk paham. Banyak yang terpesona oleh ketampanan sang imam muda. Siapakah imam baru ini? Pikir mereka kagum. Seorang imam tampan keturunan Tionghoa bersuara empuk. Sekali lihat saja, mereka langsung terpesona.
"Sampai di sini, ada yang ingin ditanyakan?"
Beberapa jamaah wanita mengangkat tangan. Nampaknya mereka sengaja cari perhatian. Pertanyaan mereka sungguh tak penting. Namun Calvin menjawabnya dengan sabar.
Shalat gerhana dimulai. Calvin membaca niat dengan suara bassnya yang merdu.
"Ushali sunnatal khusuf ra'ataini imamman lillahita'ala."
Tangannya terangkat dalam gerakan takbiratul ihram. Calvin membacakan Al-Fatihah. Dalam hati, pria tampan itu harap-harap cemas. Takut bila di tengah proses mengimami shalat ginjalnya sakit. Setelah itu dilanjut ruku, dan Al-Baqarah. Ke-286 ayat Al-Baqarah dibacakan Calvin dengan sempurna. Tajwidnya indah tanpa cela. Jamaah terhanyut. Terharu mendengar alunan suara Calvin.
Zaman now, ibadah pun harus eksis. Kalau perlu, viral. Calvin mengimami shalat di masjid eksekutif dengan seratus lima puluh jamaah menjadi viral. Salah satu jamaah mengunggahnya ke media sosial, langsung saja menjadi viral dan dibanjiri ratusan komentar netizen.
Calvin bersujud. Seluruh pikirannya terfokus pada Allah. Berdoa, bermunajah, berharap ada jalan keluar atas kepedihan ini. Hatinya pedih luar biasa. Sakitnya mendengar vonis dokter tentang kegagalan terapinya. Hemodialisa, dan terapi hormon serta konseling itu. Semuanya gagal.
Rakaat kedua, Calvin membaca surah An-Nisa dan Al-Maidah. Surah An-Nisa 176 ayat, Al-Maidah 120 ayat. 296 ayat itu dibaca Calvin dengan sempurna. Kembali para jamaah terharu. Andai saja mereka tahu. Calvin mengimami shalat dalam keadaan hati gundah.
Shalat gerhana memakan waktu lama. Tak satu pun jamaah mengeluh. Semuanya telah terbius pesona seorang Calvin Wan. Setelah shalat gerhana, Calvin membimbing mereka mengucap istighfar sebanyak tujuh kali. Dilanjutkan dengan doa dan khutbah.
Sungguh, ini baru pengalaman pertama. Namun pengalaman pertama sudah bagus sekali. Suara Calvin bagus. Tak hanya saat bernyanyi atau bercerita, melainkan saat berbicara dan membaca Al-Qur'an.
"Orang-orang Yahudi beranggapan, bila terjadi gerhana bulan atau matahari akan ada manusia yang dikorbankan. Anggapan ini dibantah Rasulullah. Gerhana tidak ada kaitannya dengan kematian seseorang..."
Sesaat khutbahnya terhenti. Calvin menghela nafas berat, ginjalnya terasa sakit. Ia menguatkan diri dan terus melanjutkan.
"Gerhana matahari dan bulan adalah tanda kebesaran Allah. Matahari dan bulan pun bukan untuk disembah. Keduanya adalah ciptaan Allah."
Dalam keadaan sakit, ia mampu menyelesaikan khutbahnya. Lalu ditutup dengan doa. Entah mengapa, doa terakhir yang diucapkan Calvin begini:
"Ya Allah, akhirilah hidup kami dengan khusnul kotimah...akhirilah hidup kami dengan khusnul kotimah...akhirilah hidup kami dengan khusnul kotimah."
Doa itu diulangnya hingga tiga kali. Dari barisan jamaah, Nico menatap Calvin penuh arti. Ia sedih. Doa itu seperti penebar firasat. Calvin sakit parah. Mungkin ia merasa hidupnya tak lama lagi, hingga ia berharap bisa menemui akhir hidup yang baik.
Begitu doa selesai, Nico bangkit dan memeluk Calvin. Sebuah pelukan persahabatan.
"Terima kasih ya, kamu mau mengimami shalat gerhana di sini. Lihat para jamaah itu. Mereka terkesan dan terharu." ujar Nico bahagia.
Calvin sosok inspiratif. Di tengah keterbatasannya, ia mampu memotivasi orang lain dalam kebaikan. Dalam sakitnya, dia mampu menuntun banyak orang untuk lebih religius.
** Â Â Â
Usai shalat, Calvin berjalan keluar dari masjid. Tiap langkahnya menampakkan beban kesedihan berat. Kian lama, langkahnya kian lambat. Ginjalnya terasa sakit. Namun pria berdarah keturunan itu memaksakan diri.
Sakit di ginjalnya tak sebanding dengan sakit hatinya. Sakit lantaran vonis dan kegagalan terapinya. Bagaimana ia harus memberi tahu Silvi? Bagaimana ia dan Silvi mengatasi masalah ini?
Kesedihan itu terlalu pedih untuk ditumpahkan dalam air mata. Tak ada lagi persediaan air mata untuk menampung pedihnya hati Calvin. Andai saja ia bisa mencuri air mata seseorang, lalu ia gunakan untuk melampiaskan kesedihan.
Calvin mengenyakkan tubuh di bangku taman. Memandangi kerlap-kerlip lampu taman dan air mancur yang menari-nari ceria. Ia bahkan iri dengan air mancur itu. Bisa terlihat ceria, memercikkan air tanpa beban.
Gundah hatinya ia alihkan dengan menulis artikel. Malam ini, Calvin tergerak untuk menuliskan penyebab infertilitas pada pria dan wanita. Berat sekali menulisnya, namun ia harus bisa. Menulis bisa melegakan perasaan.
Ilmu tentang infertilitas sudah di luar kepala. Menulisnya dengan cepat bukan pekerjaan mudah. Artikel ringan itu selesai, lalu posting. Selesai. Calvin Wan, sang model, blogger, dan pengusaha super tampan selalu produktif menulis dalam kondisi apa pun.
Tak sengaja pandangannya tertumbuk pada sesosok wanita di gerbang taman. Wanita itu cantik. Sorot matanya teduh, wajahnya lembut. Setelan businesswoman yang dikenakannya sangat pas mengikuti lekak-lekuk tubuhnya. Ada yang ganjil. Wanita itu menangis. Air matanya mengalir tanpa henti. Menciptakan kilauan bening di pipi mulusnya.
Melihat itu, hati Calvin tersentuh. Apakah yang membuat wanita secantik itu menangis? Siapakah yang tega membuat wajah lembut itu berurai air mata? Sejurus kemudian dia bangkit dan mendekati si wanita.
"Hei...kenapa menangis?" tanya Calvin lembut.
Si wanita berparas lembut menengadah. Kristal-kristal bening terus berjatuhan dari mata indahnya.
"Aku digugat cerai oleh suamiku," jawabnya setengah terisak.
"Sorry to hear that. Kenapa bisa begitu?" Calvin bertanya lagi, nada suaranya makin lembut.
"Aku divonis infertilitas...aku tidak bisa menjadi Bunda."
Serasa ada tangan-tangan besi yang menyayat dada Calvin, merogoh hatinya, dan mengiris-irisnya. Sakit, sakit sekali. Ternyata wanita berwajah lembut ini merasakan hal yang sama. Ketakutan luar biasa menyergap jiwanya. Akankah Silvi melakukan hal yang sama seperti suami wanita ini? Tidak, ia belum siap kehilangan Silvi. Calvin tidak bisa menjadi ayah, wanita cantik ini tak bisa menjadi bunda. Gloomy.
Calvin tak kuat melihat kesedihan di depannya. Ingin ia curi air mata wanita itu. Jangankan mencurinya, mengenal namanya saja tidak.
"Siapa namamu?" tanya Calvin untuk ketiga kalinya.
"Dinda..."
"Dinda, bolehkah kucuri air matamu? Agar kamu tak perlu bersedih lagi? Biar aku saja yang menanggung kesedihan."
"Tapi..."
** Â Â Â
Cafe bernuansa vintage itu menjadi saksi bisu kedukaan mereka. Calvin mencuri air mata Dinda. Calvin dan Dinda, sepasang pria dan wanita yang merasakan duka yang sama.
"Besok sidang perdananya," ungkap Dinda. Menyesap pelan Earl Greynya.
"Hadapilah. Kamu sudah berusaha. Segala keputusan, serahkan pada sutradara terbaik di dunia ini." sahut Calvin menenangkan.
"Allah," Dinda bergumam lirih.
"Iya."
Mendengarkan cerita Dinda, mencuri air matanya, dan berusaha meringankan beban kesedihannya membuat hati Calvin terasa lebih ringan. Dinda sendiri tak tahu mengapa langsung mempercayai Calvin. Pria rupawan ini terlalu baik untuk ditolak. Terlalu lembut dan sabar untuk ditepis kehadirannya.
Teh di gelas mereka telah habis. Calvin menggamit lengan Dinda. Membawanya naik ke atas panggung.
"Aku merasakan apa yang kamu rasakan, Dinda. So, aku bisa mencuri air matamu." bisik Calvin tepat di telinga wanita cantik itu.
Calvin Wan dan Dinda Pratiwi, sepasang pria dan wanita dengan luka yang sama. Pedih yang sama.
Mereka berdua terpagut dalam duka. Bernyanyi, diiringi alunan piano yang mereka mainkan.
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Sejauh ku melangkah
Hatiku kamu
Sejauh aku pergi
Rinduku kamu
Masihkah hatimu aku
Meski ada hati yang lain
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Andai harus terpisahkan
Mungkin inilah takdir cintaku
Ada cinta yang sejati
Ada sayang yang abadi
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap
Walau kau masih memikirkannya
Aku masih berharap kau milikku
Masih berharap kau untukku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).
Air mata Dinda meleleh. Dan Calvin kembali mencurinya. Ia biarkan Dinda rebah di pelukannya. Calvin mencuri air matanya. Sesungguhnya, Calvin takut pulang. Takut bertemu dan melihat kekecewaan Silvi. Dinda takut menghadapi sidang perdana perceraiannya. Calvin Wan tak bisa menjadi ayah, Dinda Pratiwi tak mampu menjadi Bunda.
** Â Â Â Â
Di rumah, Silvi menangis. Tatapannya terhujam pada foto-foto di layar smartphonenya. Calvin, suami super tampannya, mengimami shalat gerhana di masjid eksekutif. Namun, Calvin pula yang mencuri air mata perempuan lain.
"Kenapa kamu tega melakukan itu, Calvin? Hanya karena perempuan itu kondisinya sama denganmu...you know I love you, Calvin. Apa aku telah sebegitu parah menyakitimu hingga kamu tergoda ingin mencuri air mata perempuan itu? Silvi terisak. Hatinya berselimut duka.
Andai saja Calvin tahu. Silvi mencintainya. Tak mungkin Silvi bermaksud menyakiti atau melukainya dengan sengaja. Mungkinkah Calvin mencuri air mata Dinda lantaran tak lagi mencintai Silvi? Mungkinkah Calvin tak tahan dengannya dan ingin segera meninggalkannya? Air mata Silvi membasahi pipi. Calvin tak mau mencuri air matanya. Dia justru mencuri air mata perempuan lain.
"Aku mencintaimu, Calvin. Kenapa Calvin-ku justru berpaling dariku dan mencuri air mata perempuan lain? Bila kau sedih dan ingin mencurahkannya, curi saja air mata istrimu ini. Curi saja air mata wanita yang tulus padamu."
** Â Â Â
Tulisan cantik di tengah kesedihan dan inspirasi shalat gerhana.
** Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H