Fonny berbalik. Menatapi Silvi dan Calvin bergantian. Menghela nafas dalam, lalu menyahut.
"Sama-sama. Saya tidak membantu apa-apa. Tapi...saya sudah ikhlas."
Kali ini, Calvin yang merasakan tusukan tajam di hatinya. Kalimat terakhir Fonny persis seperti kalimat yang pernah ia ucapkan pada wanita masa lalunya itu. Saat Calvin menjadi saksi dari Fonny dan kedua orang tuanya yang akan segera masuk Islam. Proses pengislaman yang sangat menyentuh di sebuah masjid tak berkubah di kawasan elite ibu kota. Waktu itu, Fonny menanyai Calvin alasannya tak bisa menikahinya. Calvin menjawab jujur tentang kekurangannya. Fonny mengerti, lalu mengetes Calvin lebih jauh.
"Bagaimana bila selamanya kamu tidak bisa punya keturunan? Sakitmu itu tidak bisa sembuh...lalu kamu hidup tanpa anak. Ikhlaskah?" Fonny bertanya berani.
"Saya sudah ikhlas. Anak adalah titipan. Mungkin Tuhan tidak memberi saya anak, karena saya dipandang tidak cukup kuat merawatnya. Bukankah merawat anak perlu tanggung jawab besar?"
Waktu itu, Fonny terhenyak mendengar jawaban pria pujaan hatinya. Dan kini, setelah bertahun-tahun lamanya tak bertemu, Fonny menyimpan pertanyaan besar.
Sementara Fonny tenggelam dalam kenangan, Silvi merasakan pelukan Calvin bertambah erat. Ditatapnya pria tampan itu. Kesakitan terpancar di mata beningnya. Silvi mengerti, sungguh mengerti. Bila Calvin memeluknya seerat ini, berarti ia merasakan sakit luar biasa. Calvin tak pernah mengatakan kesakitannya, mengungkapkan kelemahannya, hanya dengan cara begini ia mencoba mencari kekuatan untuk bertahan menghadapi rasa sakitnya.
Semakin lama, pelukan Calvin bertambah erat. Wajah Calvin begitu pucat. Kedua tangannya terasa dingin.
"Apa yang bisa kulakukan untuk meringankan sakitmu, Calvin Sayang?" Mata Silvi berkaca-kaca saat mengatakannya.
"Jangan lepaskan...kumohon jangan lepaskan." lirih Calvin, tetap pada posisinya.
Silvi tak bisa. Sungguh tak bisa. Melihat Calvin merasakan sakit, Silvi ingin bertukar posisi dengannya.