"Fonny," panggil Calvin lembut.
"Sebisa mungkin, hindari perceraian. Selamatkan rumah tanggamu."
Perkataan Calvin disambuti anggukan Fonny. Ia mengusap sisa air matanya.
Berlama-lama menatap Fonny kembali memunculkan ingatan tentang Silvi. Calvin merasa begitu sedih. Tak seeharusnya ia melayangkan gugatan cerai pada istrinya. Bila tak pernah ia lakukan, semuanya takkan begini. Silvi pastilah masih di sini. Menemaninya, merawatnya, menguatkannya, mendengarkannya membacakan buku untuknya.
Semua ini salah Calvin. Mestinya ia tak perlu buru-buru melayangkan gugatan cerai. Sebelum mengajukan gugatan laknat itu, ada baiknya berpikir terus, dan terus. Apakah itu jalan terbaik? Sayangnya, Calvin terlalu gegabah.
"Calvin, are you ok?" tanya Fonny cemas.
Tanpa kata, Calvin mengambil buku di tangan Fonny. Menatap masygul bercak darah yang menodai halaman buku. Kini, dirinya tak seperti dulu. Bukan lagi Calvin Wan yang aktif, enerjik, dan selalu bisa mendampingi orang-orang yang dicintainya.
Ketukan halus berirama di pintu paviliun rumah sakit memecah keheningan. Lagi-lagi, sungguh ini sebuah pemaksaan. Calvin memaksakan diri. Ia sendiri yang melangkah tertatih untuk membukakan pintu. Punggung dan perut bagian bawahnya sakit luar biasa setiap kali bergerak. Begitu pintu terbuka...
"Aku mohon...please...jangan peluk wanita lain lagi selain aku."
Silvi datang. Dengan kata-kata itu, dipeluknya Calvin erat. Menyalurkan cinta tanpa kata. Tak hanya cinta. Ada kecewa, sedikit kemarahan yang begitu dingin, sekaligus rasa tidak tega. Silvi menatap Calvin tanpa kedip.
Rupanya Silvi tak datang sendirian. Adica, Syifa, Revan, dan Syahrena bersamanya. Kehadiran mereka menarik perhatian Fonny. Siapa gadis kecil itu? Fonny bertanya-tanya seraya menatap Syahrena. Ia cantik sekali. Andai saja tak teringat sesuatu, Fonny berani menduga kalau gadis kecil itu adalah putri Calvin. Tetapi, bukankah Calvin tak bisa memiliki keturunan?