Beginilah salah satu sifat pria sejati: tak pernah menyalahkan wanita. Tak pernah menyalahkan wanita sebagai alasan dari hal buruk yang menimpanya. Calvin Wan, layak digolongkan sebagai pria sejati.
"Andai saja suamiku seperti kamu..." Fonny mendesah, menatap muram langit-langit.
Tangan Calvin terulur. Lembut diremasnya pundak Fonny. Dua pasang mata sipit saling beradu tatap. Kelembutan di mata Calvin bertemu kesedihan di mata Fonny.
"Jangan pernah menyesali pemberian Tuhan. Suamimu itu, jadi yang terbaik yang bisa dipilihkan Tuhan untukmu." kata Calvin bijak.
"Kalau dia baik," Fonny menyeka matanya lalu melanjutkan.
"Mengapa dia kasar padaku? Mengapa dia memukuli anakku dan memaksanya beribadah di klenteng, sementara anakku sudah memilih Islam?"
Nampaknya Fonny sudah sampai di titik lelah. Ia lelah, lelah dengan kegetiran rumah tangganya. Lelah dengan cobaan hidup yang tak kunjung usai.
"Fonny, cobalah berpikir positif. Mungkin saja, saat ini suamimu bingung. Dia tidak tahu harus bagaimana. Tak bisa menyalurkan stressnya dengan baik, anak kalian jadi sasarannya. Tenangkan hatimu. Seteelah itu, tenangkan dirinya. Pelan-pelan berilah pengertian padanya." ujar Calvin lembut.
"Sudah, sudah kulakukan! Tapi tetap saja..." Fonny terisak lagi. Pedih hatinya teringat semua usaha yang telah ia lakukan untuk mengembalikan suaminya ke jalan yang lurus.
Sepercik empati Calvin rasakan. Wanita pengukir cerita masa lalunya itu tak semestinya menderita. Siapa yang mau bila pernikahannya di ambang kehancuran? Bila Calvin menjadi suami Fonny, ia akan berpikir ratusan kali untuk bercerai. Dampaknya bisa fatal. Bukan hanya pada diri mereka, melainkan pada anak-anak pula.
Beberapa waktu lalu, Calvin telah melakukan kesalahan besar. Ia menggugat cerai Silvi. Namun akhirnya menarik kembali gugatannya. Sayang sekali, akibatnya fatal. Silvi kecewa berat padanya. Belum pernah Silvi sekecewa itu pada suami super tampannya.