Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Special] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Aku Tidak Berbahaya

31 Desember 2017   06:15 Diperbarui: 31 Desember 2017   08:43 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Silvi itu...berbahaya."

Silvi menangis. Calvin memasang ekspresi serius, menatap mata birunya lurus-lurus. Sedetik kemudian ia tertawa, lalu mencubit gemas kedua pipi gadis cantik itu.

"Tapi istimewa."

Sayang sekali. Air mata terlanjur berhamburan deras dari mata Silvi. Sukses menebar kekagetan di hati Calvin.

"Jadi, aku berbahaya? Karena pernah dekat dengan calon rohaniwan yang tidak boleh menikah?" Silvi meninggikan suaranya, terisak tertahan.

"Tidak...tidak, bukan begitu. Silvi, aku hanya..."

"Bercanda? Jangan bawa masa lalu dalam candaan!"

Setengah berteriak, gadis blasteran Sunda-Inggris itu berlari meninggalkan taman. Hampir menabrak air mancur. Namun berhasil memulihkan keseimbangan dan ia terus berlari.

"Silvi! Tunggu!"

Maksud hati ingin mengejar. Rasa sakit menghalangi. Punggung dan perut bagian bawahnya terasa sakit. Seperti ditusuk ribuan jarum jahat. Cairan merah pekat itu mengaliri hidungnya, membasahi tuxedo hitamnya.

Langkah kakinya terasa begitu berat. Pria berwajah oriental itu tak dapat mengejar gadisnya. Gadis yang telah hadir dalam hidupnya selama setengah tahun terakhir. Si cantik yang rapuh namun sangat kesepian.

Dua pasang tangan menahan tubuhnya. Tangan kokoh Adica dan tangan mungil Syifa. Wajah-wajah cemas menyeruak. Bersama mereka memapahnya ke suatu tempat.

**      

Rumah sakit lagi. Rasa mual naik ke perutnya, bukan karena efek samping kemoterapi. Melainkan karena melihat ruangan serba putih penuh peralatan kedokteran dan beraroma obat-obatan itu.

Dilihatnya Adica dan Syifa tertidur di sofa. Kedua adiknya itu pasti kelelahan menjaganya. Adica, Syifa, dua adik yang sabar, setia, dan penuh pengertian.

Jarum jam berputar di angka dua. Waktu yang tepat, waktu untuk bersujud padaNya dan mendoakan para pemilik nama yang ia cintai. Perlahan-lahan ia bangkit dari ranjang, memaksakan tubuhnya bergerak.

"Mau kemana, Calvin?"

Sensitif sekali Adica. Gerakan kecil saja mampu membangunkannya. Cepat-cepat ia bangkit, lalu membantu Calvin.

"Tidak, tidak usah. Tidurlah lagi." tolak Calvin halus.

Adica tak menghiraukannya. Mana mungkin ia biarkan kakak semata wayangnya kesulitan? Kakak sekaligus rivalnya, kakak yang telah merebut kasih sayang dan kebanggaan orang tuanya.

Takbiratul ihram, ruku', dan sujud. Calvin berlama-lama dalam sujudnya. Mendoakan para pemilik nama yang ia cintai. Salah satunya ada nama Silvi. Silvi Mauriska, gadis yang tak sengaja ia lukai hatinya. Gadis yang mengisi kehampaan jiwanya setengah tahun terakhir.

"Kamu khusyuk sekali. Apa yang kamu doakan?" selidik Adica.

"Mendoakan orang-orang yang kusayangi. Mama, Papa, kamu, Syifa, sahabat-sahabatku, dan Silvi." jawab Calvin.

"Calvin...Calvin, selalu saja mendoakan orang lain. Kapan kamu doakan dirimu sendiri? Mengapa tidak doakan kesembuhanmu?"

Mendengar kata 'mengapa', terlintas ucapan Silvi. Jangan tanya 'mengapa' tapi 'apa'. Cukuplah mengerti dalam diam. Memahami tidak perlu kata-kata.

"By the way, tulisanmu tadi pagi tentang tahun 2017 dan peristiwa-peristiwa di dalamnya mendapat nilai tertinggi. Good job." Adica mengalihkan pembicaraan.

Tulisan? Pastilah yang dimaksud Adica adalah tulisannya di media jurnalisme warga itu. Entah, rasanya waktu bergulir begitu lambat sejak ia menulis dan akhirnya membuat Silvi menangis. Silvi, lagi-lagi Silvi.

"Kau membuatku iri, Calvin." ungkap Adica.

"Iri? Apa yang bisa membuatmu iri padaku, Adica?"

"Kamu multitallented. Bisa menulis, main piano, terpilih jadi duta budaya Tionghoa, anak kebanggaan Papa, pewaris utama perusahaan keluarga, punya otak cerdas, dan disayangi banyak orang. Kamu punya segalanya."

Raut wajah Calvin berubah sendu. Ditatapnya Adica, lalu ia berujar perlahan.

"Harusnya aku yang iri padamu. Dari dulu kamu bebas. Bisa lebih leluasa mengejar mimpimu tanpa kekangan Papa. Bisa main skateboard, main basket, mahir fotografi...dan yang terpenting, kamu lebih sehat. Kesehatan sangat mahal harganya, Adica. Tapi...sudahlah. Semua orang sudah punya rezekinya masing-masing."

Sisi bijaknya mulai terlihat jelas. Hati Calvin begitu indah untuk dicinta. Adorable. Inilah yang disukai semua orang darinya.

**     

Tersiarkan kisah lelaki

Tangguh bagai satria

Namun saat ia tertatih

Tampak oleh dunia

Siapa yang jadi sandarannya

Bisakah kau hidup tanpa teduhnya wanita

Yang di setiap sujudnya terbisik namamu

Dia cerminan sisi terbaikmu

Lindungi hatinya

Sekalipun di dalam amarah (Raisa-Teduhnya Wanita ost Ayat-Ayat Cinta 2).

**     

Calvin pria yang tangguh. Silvi mencatat hal itu dalam benaknya. Setangguh apa pun Ccalvin, tetap saja ia pernah rapuh dan tertatih. Lalu saat ia rapuh, siapakah yang akan jadi sandarannya?

Sebulir kristal bening mengambang di pelupuk mata Silvi, membasahi pipinya, pecah, lalu beberapa tetesnya menjatuhi tuts hitam-putih piano. Tangannya gemetar hebat. Tak sanggup lagi ia mainkan instrumen musik itu.

Rasa bersalah menghinggapi hatinya. Merampas bahagia, menaburkan sesal. Silvi sungguh menyesal telah meninggalkan Calvin dengan cara seperti itu. Calvin pastilah tak kalah sedih, marah, dan kalutnya. Mungkin saja Silvi telah menusuk hatinya begitu dalam. Ia tahu, sebenarnya ada sisi rapuh tak kasat mata di sudut hati pria tangguh, tegar, konsisten, dan tampan luar-dalam bernama Calvin Wan.

Semua ini gegara masa lalunya. Kelamnya masa lalu Silvi. Gadis berbahaya yang berani-beraninya menaklukkan hati calon rohaniwan. Mungkin Calvin tak bermaksud menyakiti hati Silvi setelah acara makan malam keluarga itu. Akan tetapi, Silvi masih dibayang-bayangi pedihnya masa lalu. Diduganya, Calvin tak pernah berempati pada dirinya. Apa yang harus ia lakukan untuk membuat Calvin mengerti?

Terdorong kegundahannya, Silvi meraih selembar kertas. Memenuhi lembaran kertas putih itu dengan tulisannya. Perasaannya kian kalut.

"Aku tidak berbahaya."

Di sisi lain, hatinya masih berdenyut sakit lantaran perkataan Calvin tentang dirinya. Apakah salah dekat dengan calon rohaniwan yang hidup selibat? Tak selamanya kecantikan, ketampanan, dan daya pikat menjadi berkah. Ada kalanya menjadi musibah.

Di satu sisi berikutnya, hati Silvi terasa jauh lebih sakit lantaran Calvin seolah mendiamkannya. Diam dan menjauh, berubah seperti semua orang lainnya. Mungkinkah Calvin akan berubah juga seperti yang lainnya? Pedih hati Silvi, pedih sekali. Di saat seperti ini, justru Silvi memerlukan perhatian lebih. Memerlukan support dan kasih yang lebih. Mungkin Calvin tak tahu itu.

Di luar, hujan turun perlahan. Lebat, dingin, suram. Sesuram hati Silvi.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=Z77c84wpq7o

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun