"Mendoakan orang-orang yang kusayangi. Mama, Papa, kamu, Syifa, sahabat-sahabatku, dan Silvi." jawab Calvin.
"Calvin...Calvin, selalu saja mendoakan orang lain. Kapan kamu doakan dirimu sendiri? Mengapa tidak doakan kesembuhanmu?"
Mendengar kata 'mengapa', terlintas ucapan Silvi. Jangan tanya 'mengapa' tapi 'apa'. Cukuplah mengerti dalam diam. Memahami tidak perlu kata-kata.
"By the way, tulisanmu tadi pagi tentang tahun 2017 dan peristiwa-peristiwa di dalamnya mendapat nilai tertinggi. Good job." Adica mengalihkan pembicaraan.
Tulisan? Pastilah yang dimaksud Adica adalah tulisannya di media jurnalisme warga itu. Entah, rasanya waktu bergulir begitu lambat sejak ia menulis dan akhirnya membuat Silvi menangis. Silvi, lagi-lagi Silvi.
"Kau membuatku iri, Calvin." ungkap Adica.
"Iri? Apa yang bisa membuatmu iri padaku, Adica?"
"Kamu multitallented. Bisa menulis, main piano, terpilih jadi duta budaya Tionghoa, anak kebanggaan Papa, pewaris utama perusahaan keluarga, punya otak cerdas, dan disayangi banyak orang. Kamu punya segalanya."
Raut wajah Calvin berubah sendu. Ditatapnya Adica, lalu ia berujar perlahan.
"Harusnya aku yang iri padamu. Dari dulu kamu bebas. Bisa lebih leluasa mengejar mimpimu tanpa kekangan Papa. Bisa main skateboard, main basket, mahir fotografi...dan yang terpenting, kamu lebih sehat. Kesehatan sangat mahal harganya, Adica. Tapi...sudahlah. Semua orang sudah punya rezekinya masing-masing."
Sisi bijaknya mulai terlihat jelas. Hati Calvin begitu indah untuk dicinta. Adorable. Inilah yang disukai semua orang darinya.