Dua pasang tangan menahan tubuhnya. Tangan kokoh Adica dan tangan mungil Syifa. Wajah-wajah cemas menyeruak. Bersama mereka memapahnya ke suatu tempat.
** Â Â Â
Rumah sakit lagi. Rasa mual naik ke perutnya, bukan karena efek samping kemoterapi. Melainkan karena melihat ruangan serba putih penuh peralatan kedokteran dan beraroma obat-obatan itu.
Dilihatnya Adica dan Syifa tertidur di sofa. Kedua adiknya itu pasti kelelahan menjaganya. Adica, Syifa, dua adik yang sabar, setia, dan penuh pengertian.
Jarum jam berputar di angka dua. Waktu yang tepat, waktu untuk bersujud padaNya dan mendoakan para pemilik nama yang ia cintai. Perlahan-lahan ia bangkit dari ranjang, memaksakan tubuhnya bergerak.
"Mau kemana, Calvin?"
Sensitif sekali Adica. Gerakan kecil saja mampu membangunkannya. Cepat-cepat ia bangkit, lalu membantu Calvin.
"Tidak, tidak usah. Tidurlah lagi." tolak Calvin halus.
Adica tak menghiraukannya. Mana mungkin ia biarkan kakak semata wayangnya kesulitan? Kakak sekaligus rivalnya, kakak yang telah merebut kasih sayang dan kebanggaan orang tuanya.
Takbiratul ihram, ruku', dan sujud. Calvin berlama-lama dalam sujudnya. Mendoakan para pemilik nama yang ia cintai. Salah satunya ada nama Silvi. Silvi Mauriska, gadis yang tak sengaja ia lukai hatinya. Gadis yang mengisi kehampaan jiwanya setengah tahun terakhir.
"Kamu khusyuk sekali. Apa yang kamu doakan?" selidik Adica.