Namaku Silvi. Aku tinggal bersama Ayahku. Ayah Calvin namanya. Ayah Calvin seorang pengusaha.
Aku juga punya sahabat. Namanya Calisa. Setiap sore, aku dan Calisa selalu bermain bersama.
Sore ini, aku bermain ayunan dengan Calisa di depan rumahku. Saat sedang bermain, tiba-tiba kami menemukan kotak kecil berwarna putih.
"Kotak apa ini?" tanya Calisa.
"Wah, apa ya? Kita buka yuk." ajakku.
Kami membuka kotak. Di dalamnya, terdapat kalung emas yang sangat indah.
"Wow...indah sekali kalungnya!" seru Calisa.
"Iya. Bagus banget. Punya siapa ya? Kok ada di sini?" tanyaku.
"Kotak itu jatuh di depan rumahmu." Calisa berkata ceria.
"Terus?"
"Berarti, kalung ini buatmu saja."
Aku bingung. Aku teringat pesan Ayah Calvin. Kata Ayah Calvin, kita harus jujur. Kita tidak boleh mengambil barang yang bukan milik kita.
"Kalung ini bukan milikku." bantahku.
"Tapi kalung dan kotaknya jatuh di depan rumahmu. Berarti, kamu boleh memilikinya." Calisa tak mau kalah.
"Simpan saja. Kalung itu buat kamu. Sudah, aku mau pulang. Sebentar lagi Maghrib."
Calisa berjalan pergi meninggalkanku. Kupegang kalung emas itu erat. Kumasukkan kembali ke dalam kotak. Lalu aku berjalan masuk ke dalam rumah.
Setelah menyimpan kalung di dalam kamar, aku shalat Maghrib. Hatiku sedih. Aku tidak ingin menyimpan kalung itu. Tapi kata Calisa, kalung itu sudah jadi milikku karena jatuh di depan rumahku.
"Ya Allah, aku harus gimana? Kalung itu kan bukan punyaku...masa harus aku simpan?" Aku berdoa pada Allah.
Malamnya, Ayah Calvin pulang. Kupeluk Ayah Calvin erat. Aku menangis di pelukannya.
"Kenapa, Sayang?" tanya Ayah Calvin lembut.
"Ayah, tadi ada kalung jatuh di depan rumah kita. Aku ambil kalungnya. Kata Calisa, kalung itu punyaku karena jatuh di depan rumahku."
Ayah Calvin mengelus kepalaku.
"Silvi Sayang, ingat nggak apa kata Ayah?"
"Ingat, Ayah. Kita harus jujur. Jangan ambil barang yang bukan milik kita."
"Pintar...nah, kalung itu kan bukan punya Silvi. Harus dikembalikan dong."
Aku mengangguk. Kupegang tangan Ayah Calvin erat. Aku sudah berhenti menangis.
"Aku nggak tahu siapa yang punya kalung itu, Ayah." ujarku sedih.
Ayah Calvin menggandeng tanganku. Diajaknya aku ke kamar. Dibukanya kotak berisi kalung.
"Sayang, di sini ada kartu namanya. Besok kita bisa kembalikan kalung ini." Ayah Calvin menunjukkan sebuah kartu nama yang tergeletak di dasar kotak.
"Oh iya...wah, Ayah hebat. Besok kita kembalikan kalungnya ya, Ayah." ucapku senang.
"Iya."
"Aku sayang Ayah Calvin Wan."
"Ayah juga sayang Silvi Maurinia."
Mulai sekarang, aku akan lebih jujur lagi. Aku tidak akan mengambil barang yang bukan milikku.
** Â Â
Paris van Java, 16 Desember 2017
Hanya tulisan cantik atas permintaan seseorang dan untuk sebuah project.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI