Akhir-akhir ini, tingkah Calvin dan Silvi terasa ganjil. Saat akhir pekan dan ada waktu senggang, Silvi senang bisa ditemani Calvin. Entah mengapa, Calvin pun tak keberatan menemani Silvi. Padahal Silvi selalu mengira Calvin akan terganggu olehnya. Sebaliknya, hati Calvin justru tergerak untuk selalu ada di samping Silvi.
Berbulan-bulan lamanya mereka terjebak dalam perasaan saling memahami, menghormati, dan menghargai. Kasih sayang di antara mereka bertambah kuat. Silvi menangkap satu hal: Calvin mulai berubah. Sejak pertama kali mengenalnya sampai sekarang, ada beberapa perubahan dalam diri Calvin yang dirasakannya. Calvin menjadi lebih lembut, penyabar, dan tidak sekeras dulu. Semula dingin, kini Calvin jauh lebih ekspresif dan terbuka.
Lama-kelamaan, keduanya terperangkap dalam keraguan. Bagaimana tidak, Calvin dan Silvi mengaku masih mencintai orang lain. Silvi masih mencintai Albert, cinta pertamanya. Sedangkan Calvin sedang melakukan pendekatan pada Chika, teman kantornya yang cantik. Keraguan dan kebimbangan mengisi hati Silvi. Ia tak tahu apa yang telah terjadi dengan hatinya. Selain itu, dia tak mengerti perasaan dan isi hati Calvin yang sebenarnya.
Tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Calvin dan Silvi katanya cinta orang lain, tapi justru mereka sendirilah yang dekat satu sama lain. Bahkan saling mengerti dan melengkapi. Telah terbiasa melewatkan banyak waktu bersama tanpa merasa jemu.
Ironisnya, keluarga Silvi tidak begitu menyukai Calvin. Entah apa salah Calvin sampai-sampai ia tidak disukai. Rupanya keluarga Silvi bukan sekadar khawatir atau curiga, melainkan sudah memasuki level ketidaksukaan.
Meski demikian, Silvi tetap dekat dengan Calvin. Apa pun reaksi negatif keluarganya. Silvi dan Calvin benar-benar tak paham dengan perasaan mereka sendiri. Hati mereka terlambat untuk menyadari sesuatu.
Sampai akhirnya, Calvin divonis menderita Kidney Cancer. Kondisinya terus memburuk. Di saat-saat terberat, Silvi selalu setia mendampingi dan merawat Calvin. Kini keduanya makin dekat serta saling membutuhkan.
Tepat pada saat itu, mereka tersadar. Sesungguhnya mereka saling mencintai. Hanya saja, mereka tak mau mengakui perasaan itu. Mereka berkeras masih mencintai orang lain, menutup hati, dan enggan untuk move on. Sudah terlambat untuk memulai hubungan. Kondisi Calvin semakin parah, dan ia baru mengetahui perasaan saling mencintai itu di akhir hidupnya. Calvin meninggal membawa cintanya untuk Silvi. Meninggalkan Silvi dalam kesedihan.
Kasus Calvin-Silvi banyak ditemui. Dimana ada dua orang yang sebenarnya saling mencintai, namun terlambat menyadarinya. Saat tahu bahwa mereka saling mencintai, semuanya sudah terlambat. Keadaan tak bisa diperbaiki lagi.
Berbanding terbalik, ada pula yang terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa dirinya dan seseorang incarannya saling mencintai. Walau sesungguhnya cinta mereka bertepuk sebelah tangan. Bisa saja salah satu di antara mereka tak bisa membalas cintanya lantaran benar-benar tak cinta, sulit menemukan kecocokan, hanya ingin memanfaatkan, menipu, bermaksud jahat, atau sekadar kasihan. Lebih menyakitkan lagi, sebenarnya dia sama sekali tak peduli dan hanya terpaksa atau pura-pura peduli pada orang yang mencintainya.
Dua keadaan ini sama-sama menyakitkan. Terlalu cepat mengambil kesimpulan dan terlambat menyadari bahwa sesungguhnya ada perasaan saling mencintai. Ada langkah untuk mencegah dua kondisi menyakitkan itu terjadi. Sebelumnya, kita ulas dulu teori dan psikologi cinta. Kita perlu tahu tentang teori cinta dan bagaimana dunia psikologi memandang fenomena cinta.
Cinta adalah anugerah Tuhan. Cinta menjadi salah satu emosi dasar manusia. Jangan harap bisa menolak dan membantah perasaan cinta yang muncul dari dalam hati. Biar bagaimana pun, cinta tak dapat dicegah. Kita pun tak bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta. Bukan diri kita yang memilih, tapi hatilah yang memilih.
Zick Rubin dalam teorinya, antara menyukai dan mencintai, menjelaskan bahwa di antara perasaan suka dan cinta itu didasari tiga hal. Antara lain perhatian, kasih sayang, dan keintiman. Teori lain dari Elaine Hatfield mengemukakan ada dua jenis cinta. Cinta karena kasih sayang, dan cinta karena gairah.Â
Cinta karena kasih sayang didasari pada sikap saling menghargai, menghormati, keterikatan, dan kepercayaan. Cinta karena kasih sayang awalnya terbentuk dari dua orang yang menjalin kedekatan lalu saling mempercayai, memahami, dan menghargai. Sebaliknya, cinta karena gairah hanya berlandaskan emosi yang kuat dan gairah seksual. Cinta seperti ini hanya bertahan 6-30 bulan. Tak jarang cinta karena gairah berujung pada kebencian dan dendam.
Lain lagi dengan teori Robert Stemberg. Teorinya adalah segitiga cinta. Eits, jangan salah paham dulu. Teori segitiga cinta bukan berfokus pada tiga orang yang saling mencintai dan campur tangan pihak ketiga. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya cinta didasari tiga unsur: intimasi, gairah, dan komitmen.
Dalam bukunya, The Colors of Love, John Lee memiliki teori tentang cinta yang disebut teori roda warna cinta. Menurut John Lee, ada tiga warna dalam cinta: Eros, Ludos, dan Storge. Ketiga warna ini dapat dikombinasikan. Kombinasi Eros dan Ludos menghasilkan Mania, atau cinta obsesif. Parma merupakan kombinasi Ludos dan Storge. Hasilnya cinta realistis. Kombinasi Eros dan Storge menghasilkan warna cinta yang mementingkan diri sendiri. Nama lainnya adalah Agape.
Nah, unik kan empat teori cinta itu? Bukan hanya teorinya. Dunia psikologi pun menyoroti enam dimensi cinta. Di antaranya dominasi cinta, komitmen, kepuasan cinta, konflik cinta, penyingkapan cinta, dan kelekatan cinta. Ada hal menarik dalam dominasi cinta. Ternyata dominasi cinta bukan hanya berorientasi pada perasaan ketergantungan dan mana yang lebih dalam perasaannya. Melainkan dominasi cinta dapat berfokus pada beberapa faktor. Seperti gaji lebih besar, daya tarik fisik lebih tinggi, jenjang pendidikan lebih tinggi, kekerasan, ancaman, jabatan yang lebih prestise, dll.
Begitulah ulasan teori dan dimensi cinta dalam psikologi. Back to focus. Saling mencintai sering kali terlambat disadari. Faktornya bermacam-macam. Gengsi mengakui perasaan, tak mau terbuka, enggan bersikap jujur pada diri sendiri, dan cinta terlarang. Bila dua orang saling mencintai namun ada situasi dan kondisi yang melarang mereka untuk saling mencintai, maka perasaan saling cinta itu tak dapat diungkapkan.
Rasa takut juga berperan penting saat dua orang yang saling mencintai terlambat menyadarinya. Takut cinta mereka bertepuk sebelah tangan, takut dikecewakan, dan takut terlalu cepat mengambil kesimpulan. Terlalu cepat tak baik, terlambat pun tak baik.
Bagaimana cara menghindari dua risiko itu? Ada tiga cara untuk menghindarinya.
Pertama, refleksi diri. Cobalah refleksikan perasaan dan hati kita. Jangan ragu untuk jujur pada diri kita sendiri. Tanyalah hati kita. Benarkah rasa ini adalah cinta? Jika cinta, adakah alasan kita untuk mencintai dia? Cinta yang tulus tak perlu alasan. Saaat refleksi diri, jangan pernah membohongi diri sendiri. Jujur saja, cukup ikuti kata hati.
Kedua, bicara dari hati ke hati. Inilah yang jarang dilakukan orang. Banyak orang gengsi untuk bicara dari hati ke hati. Entah mereka malu, bukan orang yang romantis, gengsi, atau segan melakukannya. Namun, jangan merasa segan dulu. Beranilah bicara dari hati ke hati. Terbukalah dengan diri sendiri dan orang yang kita cintai. Ungkapkan isi hati kita. Dengarkan curahan hati dia. Bukalah hati dan pikiran kita. Percayalah, bicara dari hati ke hati akan memperjelas keadaan.Â
Cinta itu absurd. Misterius dan tak terduga. Bahkan orang yang punya indera keenam dan mata hati sekali pun akan kesulitan mendeteksi cinta-tidaknya seseorang pada dirinya. Mereka terlalu takut dan berhati-hati bila berurusan dengan cinta. Jangankan orang biasa, orang yang dibekali mata hati dan indera keenam saja sering kali merasa kesulitan. Ada banyak rahasia alam yang tak bisa dijelaskan, termasuk cinta.Â
So, salah satu cara untuk mempermudah kejelasan dari cinta itu sendiri adalah bicara dari hati ke hati. Berterus teranglah pada diri sendiri dan orang lain. Kalau perlu, cobalah ajak dia bicara serius tentang perasaan dan cinta. Tentang hubungan dan ritmenya. Walau sulit, cobalah membicarakannya. Bicara dari hati ke hati akan membuka ruang pemahaman bagi dua orang yang saling mencintai untuk menyadari perasaan mereka. Kompasianer, coba Young Lady tanya. Dari pada terlambat, pilih mana coba? Gengsinya kesampingkan dulu, terus bicara dari hati ke hati. Jika tak ada salah satu yang memulai, kapan kesadaran itu akan muncul?
Last but not least, menerima cinta. Young Lady percaya, cara untuk menyembuhkan luka hati adalah menerima hadirnya cinta yang baru. Sebuah rencana move on bisa dikatakan berhasil bila luka hati telah sembuh dan kita menemukan cinta yang baru. Begitu ada orang yang tulus mencintai kita, tunggu apa lagi? Terimalah sebelum terlambat. Bisa saja sebenarnya hati kita telah terbuka untuk mencintainya, tapi kita tak sadar dan terus-menerus menutup hati. Bisa saja sesungguhnya diri kita dan dirinya terpaut untuk saling mencintai, tapi kita tak sadar lantaran hati enggan menerima cinta yang baru.
Kompasianer, maukah kalian melakukan ketiga langkah itu sebelum cinta datang terlambat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H