Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Psikolove", Akhirnya Ku Menemukanmu (3)

11 November 2017   05:57 Diperbarui: 11 November 2017   05:58 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Calvin datang ke ruang konseling no. 2 dengan wajah pucat. Kecemasan menyerbu hati Clara. Apa lagi yang telah terjadi pada klien istimewanya ini? Clara tak bisa ingkar pada perasaannya sendiri.

"Calvin, are you ok?" tanya Clara halus, menatap cemas wajah pucat pria itu.

Perlahan Calvin mengenyakkan tubuhnya di sofa. Sofa hitam yang ia tempati pada konseling sesi pertama. Ia balas menatap Clara. Ada keletihan tercermin di sana. Berbaur dengan kesakitan.

"Aku tetap membenci Hari Sabtu..." lirih Calvin.

"I know. Kamu kenapa lagi? Apa sakit itu semakin parah?" Clara masih sabar melontarkan pertanyaan. Belum pernah Clara sesabar ini.

Pagi yang dingin dan suram bertambah suram bagi Clara. Ia tak bisa, sungguh tak bisa melihat Calvin serapuh itu. Di balik ketampanannya, Calvin menyimpan ketegaran yang dipaksakan. Sesungguhnya ia rapuh, teramat rapuh. Hanya Clara yang benar-benar mengerti kerapuhan Calvin Wan.

"Boleh aku tahu, apa yang membuatmu seperti ini?"

Dapat Calvin rasakan kesabaran Clara menanyainya. Meski ia memilih diam, enggan menjawab pertanyaan psikolog cantik itu, Clara tetap sabar. Sulit untuk menjawabnya.

"Calvin," panggil Clara sehalus mungkin.

"Bagaimana aku akan membantumu? Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi padamu."

Gadis berwajah oriental itu menunggu. Berharap ia segera tahu segalanya.

"Acara keluarga itu..." Pelan-pelan Calvin memulai, berusaha mengeluarkan isi hatinya yang terpendam.

"Ya? Ada apa dengan acara keluarga?" Clara mendorongnya, lembut dan sabar.

"Aku tertekan. Mereka berbisik-bisik tentangku. Menyalahkanku karena tidak menikah. Beberapa sepupu bahkan menyebutku dengan sebutan aneh-aneh dan tidak pantas. Adica dan Papa marah. Mereka membelaku. Tetap saja aku sakit dan tertekan setelahnya. Terasa sakit sekali...di sini." Calvin menunjuk ke dada kanannya.

"Iya, aku paham. Kamu sakit sejak itu. Pantas kamu tidak menulis artikel selama beberapa hari ini."

Mendengar itu, Calvin tertegun. Bagaimana Clara bisa tahu?

"Aku memperhatikanmu, Calvin. Selalu memperhatikanmu." Seolah bisa membaca pikiran Calvin, Clara menjelaskan.

Ada yang memperhatikannya. Ada yang peduli padanya. Entah mengapa, beban di hati Calvin terasa lebih ringan.

"Well, aku sudah membaca e-mailmu tadi pagi. Kamu menulis semua kenanganmu tentang Angel. Indah..." puji Clara setelah terdiam sejenak.

"Thanks. Aku juga mengirim tulisanku pada adikmu."

"Silvi? Dia membacanya juga? Wow, bagus. Kelihatannya kalian memang dekat ya."

Sebuah kemudahan bagi Clara. Calvin tak hanya mengenal dirinya, melainkan mengenal anggota keluarganya yaitu adik semata wayangnya. Kemungkinan Silvi bisa membantu Calvin agar lebih cepat sembuh dari traumanya.

"Okey, kita bahas soal pernikahan dan reaksi negatif keluarga besarmu. Kalau boleh aku tahu, mengapa sampai sekarang kamu tidak menikah?"

"Aku tidak laku, Clara. Siapa yang mau menikahi pria sepertiku? Menjaga anak saja tidak bisa, apa lagi..."

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Calvin. Kamu pria yang sangat baik. Apa tidak sebaiknya kamu segera menikah? Pasti banyak wanita yang mau menikah denganmu. Pernikahan bisa menghindarkan dirimu dari stigma negatif. Aku yakin, pernikahan dilandasi cinta akan mempercepat kesembuhanmu."

Inilah letak permasalahannya. Calvin sendiri tak tahu, siapa wanita yang ingin ia nikahi. Tepatnya wanita yang ia cintai. Berkali-kali gagal dalam percintaan membuat Calvin mati rasa. Ia enggan mencoba lagi.

"Baiklah, aku tidak akan memaksa. Tapi, cobalah pikirkan baik-baik saranku. Sekarang, kita fokus pada trauma pasca kehilangan Angel. Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Pertanyaan membingungkan. Bagaimana ia harus menjawab? Pria berwajah rupawan itu terdiam menatap Clara.

"Aku selalu merasa bersalah. Lebih baik aku saja yang meninggal, bukan Angel. Aku menginginkan kematian."

Detak jantung Clara bertambah cepat mendengar kalimat terakhir Calvin. Ini gawat, pikirnya. Tak bisa dibiarkan. Traumanya sudah mencapai tingkat akut. Bukan hanya trauma, ada kecenderungan depresi dan tekanan jiwa yang sangat berat. Menginginkan kematian telah menjadi pertanda.

"Calvin, kamu yakin ingin segera pergi menyusul Angel?" usik Clara lembut.

"Sangat yakin. Tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku sudah kehilangan Mama, lalu putriku meninggal. Apa lagi yang bisa kuharapkan?" ujar Calvin putus asa. Gurat kesedihan mendominasi wajah tampannya.

"Bagaimana dengan Papamu? Adica? Silvi? Para pembaca setiamu di media citizen journalism itu? Memangnya kamu tidak sayang pada mereka?"

"Mereka bisa hidup tanpaku."

Keras kepala. Kesan itu tertangkap kuat di benak Clara. Kondisi kejiwaan Calvin sedang berbahaya. Ia harus memperingatkan Adica dan Tuan Erlambang untuk tidak meninggalkan Calvin sendirian.

"Aku tak bisa bayangkan, apa jadinya jika kamu berhasil bunuh diri. Silvi pasti akan sedih sekali. Mungkin dia akan menyalahkanku karena gagal menyembuhkanmu. Adica dan Om Erlambang akan kecewa berat. Para pembacamu sangat kehilangan. Calvin, please. Janganlah mengakhiri hidupmu."

Bukannya menjawab, Calvin menunjukkan kotak kecil yang sejak tadi dipegangnya. Dibukanya tutup kotak. Ditumpahkannya isi kotak ke atas meja. Jarum, pisau kecil, gunting, cutter, pensil yang telah diraut tajam, dan benda-benda kecil lainnya. Calvin melempar pandang jijik pada benda-benda itu.

"Ini pasti benda-benda yang kamu gunakan untuk menyakiti dirimu sendiri. Berharap kamu bisa mati setelah melukai tubuhmu dengan salah satu benda ini." tebak Clara.

Terkaan Clara hanya disambut anggukan. Melihat benda-benda itu, wajah Calvin bertambah pias. Rasa mual naik ke perutnya. Clara dapat menangkap itu.

"Excuse me..." kata Calvin lirih, bangkit dari sofa. Melangkah ke wastafel di ujung ruangan.

Beberapa saat lamanya Calvin muntah. Clara tergesa mendekatinya. Hatinya iba bercampur khawatir. Komplikasi ini tak pernah diasumsikannya.

Mengapa ia begitu cemas? Bukankah sudah pernah terjadi beberapa kali? Muntah atau Vomitus hanyalah satu dari berbagai gejala fisiologis yang muncul pada penderita Psikosomatis. Namun hari ini, pada menit dan detik yang sama, Clara mendapati dirinya jatuh. Jatuh, jatuh dalam rasa khawatir. Hanya mengkhawatirkan satu orang klien. Ingat itu, satu klien.

"Kamu benar-benar sakit, Calvin. Aku maklum kamu libur menulis selama beberapa hari terakhir. Kusarankan, jangan pernah berpikiran untuk bunuh diri."

Tangan Clara terulur. Lembut membelai punggung Calvin. Apa yang telah dilakukannya? Tak seharusnya ia lakukan itu. Profesionalitasnya sebagai psikolog akan luntur. Ini tak boleh terjadi. Kalaupun terjadi, bukan di jam konseling.

**       

Perahu kertasku kan melaju

Membawa surat cinta bagimu

Kata-kata yang sedikit gila

Tapi ini adanya

Perahu kertas mengingatkanku

Betapa ajaib hidup ini

Mencari-cari tambatan hati

Kau sahabatku sendiri

Hidupkan lagi mimpi-mimpi

Cita-cita yang lama kupendam sendiri

Berdua ku bisa percaya

Ku bahagia

Kau telah terlahir di dunia

Dan kau ada

Di antara milyaran manusia

Dan ku bisa

Dengan radarku menemukanmu (Maudy Ayunda-Perahu Kertas).

Selain menulis, menyanyi sambil memainkan piano adalah pelariannya. Tempat curhatnya, media katarsisnya. Silvi, blogger cantik bermata biru itu, curhat lewat lagu. Isi hatinya tercermin dari lagu yang ia mainkan.

Hanya sedikit yang tahu. Silvi belum lama ini patah hati. Lalu, tetiba saja, mungkin karena diatur Yang Memberi Hidup, Silvi dekat dengan Calvin. Kedekatan yang mereka sepakati sebagai brother zone. Mereka menjalaninya dengan konsisten. Dekat dengan Calvin membuatnya bahagia. Mata hatinya mampu merasakan ketulusan dan kelembutan.

Anehnya, hati Silvi membuka untuk Calvin. Dengan pria lain ia tak mau membuka sedikit pun celah di hati. Silvi sendiri tak tahu mengapa bisa begitu. Padahal dirinya dan Calvin terpaut usia yang cukup jauh. Akan tetapi, bukankah cinta tak mengenal usia?

Galau melingkupi hati Silvi. Tidak, ini tidak benar. Ia harus konsisten pada komitmen awal mereka. Ini tak boleh dibiarkan. Cintanya pada Calvin adalah cinta kasih antara saudara. Bbukan cinta sepasang kekasih. Toh ia tahu, Calvin pun hanya mencintainya sebagai saudara. 

Silvi masih terlalu kecil, ia pastilah bukan wanita yang masuk dalam kriteria wanita pilihan blogger super tampan itu. Calvin pastilah memilih wanita cerdas, pintar, dan dewasa. Mana mungkin Calvin menyukai gadis manja, sulit ditebak, keras kepala, suka tebar pesona, dan low vision seperti dirinya? Silvi tahu diri.

Suara tepuk tangan membuyarkan lamunannya. Disambuti wangi Bath & Body Works. Sedetik kemudian Clara telah duduk di sampingnya.

"Kok nyanyiin lagunya Perahu Kertas?" selidik Clara to the point.

"Ya...kebetulan aja pengen nyanyi lagu itu. Memang kenapa?" Silvi berusaha mengelak, menyembunyikan fakta yang sebenarnya.

"Ah pintar ngeles kamu. Pasti kamu lagi curhat ya? Ada apa sih?"

Silvi menghela napas. Menggeser kursinya dua setengah senti lebih jauh. Clara memajukan bibirnya, tak senang dengan jarak yang diciptakan adiknya.

"Tulisanku tadi pagi menuai banyak komentar. Banyak blogger yang gemas denganku. Mereka kira aku berubah. Bahkan ada yang menyebut tulisanku sebagai pengkhultusan pada sosok blogger tertentu, itu membuatku tersinggung. Hanya Calvin yang tahu kalau pola tulisanku tidak berubah. Dia mengerti, sangat mengerti. Itu yang membedakan Calvin dengan blogger lainnya. Dia memahamiku. Inilah yang kubutuhkan."

Sebentar saja Clara langsung mencerna penjelasan Silvi. Ia bisa melihat ada yang lain dalam pancaran mata Silvi. Namun Clara belum bisa memastikan. Sinar mata yang lain, raut wajah yang melembut saat menyebut nama Calvin, ujung bibir yang melengkung indah ketika membicarakan Calvin. Apa artinya itu?

"Calvin memang baik dan pengertian. Dia..."

Reminder di ponselnya berbunyi. Clara spontan menepuk dahinya.

"Oh tidak, aku sudah janji! Malam ini aku akan telepon Calvin! Memastikannya baik-baik saja dan memupus keinginannya untuk bunuh diri!"

Dalam hitungan detik, Clara berkutat dengan iPhonenya. Menelepon sang klien istimewa. Silvi meliriknya sekilas. Ia pun bisa merasakan ada yang lain dalam nada suara Clara saat bicara dengan Calvin. Lebih lembut, lebih halus, lebih hangat. Tak sedingin biasanya. Bila Clara menangkap getaran cinta lewat netra, Silvi mendengar getaran cinta lewat suara. Mudah, sangat mudah bagi kakak-beradik itu untuk saling menyelami perasaan satu sama lain.

Silvi tak tahan lagi. Pertahanan hatinya rusak. Ia melangkah setengah berlari ke kamarnya. Membanting pintu dengan wajah sendu berurai air mata.

**         

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun