Sebenarnya, bisa saja saya membela diri di depan Yasmin. Mendebat kritikannya dengan argumen yang saya miliki. Jika diperhatikan lagi, karakter yang saya ciptakan tidak benar-benar sempurna. Kenapa? Okey dia memang kaya, super tampan, brilian, jiwa sosialnya tinggi, dan kesan perfect lainnya. Tapi...dalam setiap kisah selalu sakit kan? Selalu diuji berbagai kesedihan dan kehilangan kan? Dimana sempurnanya coba? Sosok pria yang punya segalanya, tapi penyakitan. Hello Dear, itukah yang disebut sempurna? Tidak, tetap ada kekurangannya.
Soal mengangkat penyakit dalam karya fiksi di Kompasiana maupun di buku-buku saya pun sudah menjadi style yang coba saya bangun sendiri. Silakan saja saya dinilai tidak kreatif, membosankan, dan terlalu sering menulis soal penyakit atau medis dalam cerita-cerita saya. Jika mau berpikir lebih luas sedikit saja, Kompasianer akan tahu kalau saya bukannya tidak kreatif. Tapi, inilah pola saya. Inilah style yang saya sukai. Saya punya pola sendiri, saya ingin tetap jadi diri sendiri. Tebar pesona dengan pola yang saya suka. Simple saja.
Kritikan Yasmin tidak akan menggoyahkan prinsip dan pola saya. Inilah saya, dengan pola dan tipe tulisan cantik yang senang gaya dan tebar pesona. Mau kritik dan protes, silakan saja. Kritik saya dengarkan, namun jangan harap saya akan mengubah pola dan prinsip saya.
Sudah pernah dibahas di tulisan sebelumnya, saya suka melakukan personal branding terhadap satu tokoh utama tertentu. Caranya, menulis berulang dengan tokoh utama yang tidak berubah. Jenuh? Sama sekali tidak. Saya menikmatinya. Personal branding ini saya lakukan untuk menghadirkan tokoh idola di panggung Kompasiana.
Tokoh idola inilah yang mungkin dianggap terlalu sempurna oleh Yasmin. Pertanyaan saya adalah, salahkah menghadirkan tokoh yang sempurna? Menurut saya tidak salah. Dalam novel-novel romance atau fiksi young adult, tokoh-tokohnyapun digambarkan sempurna. Lihat saja Raga dalam Novel Red, Haris Risjat dalam Antologi Rasa, Beno Wicaksono dalam Divortiare dan Twivortiare, Edward Cullen dalam Twilight, Tatsuya dalam Autumn in Paris, Danny Jo dalam Spring in London, atau Ervin Daniswara dalam Miss Pesimis. Nah, yang terakhir ini favorit saya. Saya ngefans berat dengan tokoh Ervin ini. Si Ervin mengingatkan saya pada Calvin Wan. Cool and charming!
Young Lady yang cantik jatuh hati dengan tokoh Calvin Wan. Itu benar. So what? Tokoh-tokoh sempurna macam itu akan membuat penulis dan pembacanya jatuh hati. Kesempurnaan fisik dan sifat mereka sangat menarik. Ada yang bilang ketidaksempurnaan akan menjadi daya tarik. Sama halnya seperti bad boys yang jauh lebih menarik dari good boys. Dalam pandangan saya tidak begitu. Kesempurnaan justru menarik sekali. Sama halnya seperti saya yang tidak pernah menyukai bad boys. Saya lebih pilih good boys, nice guy, or Prince Charming dibanding bad boys. Kira-kira begitu prinsip saya.
Semuanya kembali lagi ke tangan Kompasianer dan pembaca saya lainnya. Tidak bisa dipaksakan, soal ketertarikan itu selera. Menyukai atau tidak menyukai itu pilihan. Satu hal yang pasti: kehadiran tokoh-tokoh sempurna ini identik dengan novel populer. Saya pikir, novel bercorak "sastra serius" tidak akan menghadirkan tokoh-tokoh yang sempurna. Itulah sebabnya saya tidak begitu menyukai tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam novel serius. Namun bukan berarti tak suka plotnya. Hanya kurang "jatuh hati" dan "terpesona" saja dengan karakter-karakternya.
Kompasianer, bagaimana pendapat kalian soal tokoh yang sempurna?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI