Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dapatkah Menebus Rasa Bersalah? (2)

1 November 2017   05:57 Diperbarui: 1 November 2017   05:59 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dimanakah akan kucari pengganti dirimu

Entah dimana

Oh dimana

Oh dimana

Dimana lagi harus kucari

Mengapakah diri ini tersiksa lagi

Entah mengapa

Oh mengapa

Oh mengapa

Tersiksa lagi (Wilson Idol ft Tohpati-Tersiksa Lagi).

**       

Cukup dua hari Calvin menjalani perawatan di rumah sakit. Hari ketiga, ia kembali ke rumah. Menjalankan lagi perannya sebagai ayah, blogger, dan pebisnis. Meski frekuensi aktivitasnya harus dikurangi.

Prioritas utamanya tetaplah Goldy. Anak tunggalnya. Alasan terbesarnya bertahan hidup hingga kini. Satu-satunya harta paling berharga yang ia miliki. Calvin lebih rela kehilangan saham, cafe, perusahaan keluarga, rumah mewah, koleksi mobil Sport, beberapa jam tangan mahal, uang, dan apartemen miliknya dibandingkan harus kehilangan Goldy. Anak semata wayangnya itu ratusan kali lipat lebih berharga dibandingkan semua aset yang dimilikinya.

Tak heran, dalam keadaan sakit, Calvin selalu mencurahi anaknya dengan perhatian luar biasa. Rasa sakitnya berkurang seketika saat ia melihat senyum putra satu-satunya. Memandang matanya yang bening, memperhatikan wajah polosnya, dan mendengarkan suaranya. Calvin menghabiskan harinya bersama Goldy. Menemaninya mengerjakan PR, menjelaskan beberapa materi pelajaran yang kurang disukainya, mengajarinya berenang, bermain bersamanya, sampai akhirnya bercerita untuk Goldy menjelang tidur. Bukan hanya sebagai ayah, Calvin pun story teller yang baik. 

Suara bassnya yang empuk dan merdu, interpretasinya saat bercerita, dan kemampuan story tellingnya yang di atas rata-rata membuat Goldy selalu terbawa dalam pusaran kisah-kisah indah yang ia ceritakan. Goldy beruntung mempunyai ayah multitalenta seperti Calvin.

"Daddy, it's a nice story." puji Goldy, tersenyum tulus dan memeluk guling kesayangannya.

"That's right. Cerita yang bagus. Goldy suka?" tanya Calvin lembut.

"Suka banget. Daddy pintar bercerita. Goldy beruntung punya Daddy Calvin."

Mendengar itu, Calvin tersenyum bahagia. Menatap lekat mata anak tunggalnya. Goldy yang tampan, semakin hari semakin mirip dengan Calvin. Padahal mereka tak terikat secara biologis. Kedekatan bukanlah soal biologis, melainkan psikologis. Calvin membesarkan Goldy dengan penuh kasih sayang. Ia rawat anak itu dengan usahanya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Jelas saja Goldy terikat secara psikologis dengan ayah angkatnya.

Ayah angkat? Calvin tak pernah menyebut dirinya sendiri sebagai ayah angkat Goldy. Pada siapa saja, ia selalu berkata jika dirinyalah ayah kandung Goldy. Sebaliknyya, Goldy telah terlanjur disebut anak kandung Calvin. Tak pernah Calvin menganggap Goldy sebagai anak adopsi.

"Daddy?"

"Ya?"

"Cepat sembuh ya? Daddy harus kuat..."

Calvin terhenyak. Harapan dari hati kanak-kanak yang tulus mencintainya. Mampukah ia mewujudkan harapan itu?

"Akan Daddy usahakan, Sayang. Tapi Daddy tak bisa janji," ucapnya.

Wajah Goldy berubah sendu. "Kalau Daddy meninggal, Goldy sama siapa?"

Sebuah pertanyaan yang sangat polos. Polos sekaligus menyakitkan. Membelai-belai lembut kepala Goldy, Calvin menjawab.

"Masih ada Uncle Adica, Auntie Syifa, Grandpa Rio, dan Grandma Lola. Mereka semua sayang sama Goldy."

"Big no..." Goldy menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Mereka beda. Daddy tak akan terganti."

Daddy tak akan terganti. Kata-kata itu membekas di relung hati Calvin. Goldy benar-benar mencintainya. Goldy takut kehilangannya. Tekadnya makin kuat untuk menaklukkan kanker tulang itu. Ia harus kuat, ia harus sembuh. Demi Jabar Nur Goldy Calvin.

**      

Terlalu lama berdiam diri di rumah justru membuat tubuhnya makin sakit. Malam itu, setelah Goldy tidur, Calvin pergi sebentar ke cafenya. Praktis ia disambuti tatapan heran Syifa dan Adica setiba di sana.

"Ngapain kamu ke sini, Calvin? Istirahat sana di rumah, nggak usah banyak aktivitas dulu!" sergah Adica.

Sesaat Calvin mengedarkan pandang ke sekitarnya. Normal, semuanya baik-baik saja. Syifa buru-buru mendekat. Merangkulnya hangat.

"Kak Calvin harusnya istirahat di rumah," kata gadis itu lembut.

"Terlalu lama di rumah malah membuatku tambah sakit, Syifa." Calvin tak kalah lembut saat menjelaskan alasannya. Begitulah Calvin Wan. Kakak yang lembut dan penyabar, pebisnis handal, blogger konsisten, anak yang berbakti, dan ayah idaman. Apa yang kurang darinya?

"I see. Tapi...gimana mau sembuh kalau nggak banyak istirahat?" bujuk Syifa.

Adica melempar pandang tajam ke arah mereka. "Sudahlah, Syifa. Kakak kita memang keras kepala."

Bukannya tersinggung, Calvin tertawa kecil. Sudah biasa disebut keras kepala. Meski keras kepala, ada sisi lembut di hatinya. Semua orang yang mengenalnya tahu itu.

Ketiga kakak-beradik itu mulai memperhatikan cara kerja para pelayan cafe. Mengamati interaksi pengunjung cafe dengan waiters, mengecek keramahan serta kesopanan mereka. Puas atas hasil kerja mereka. Pelayanan yang memuaskan dan kesan positif sukses membuat para pengunjung cafe jatuh hati. Mereka tak segan mengunggah status di sosial media, secara tak langsung mempromosikan cafe ini pada followers mereka. Strategi merebut hati para pengunjung cafe telah lama berhasil dijalankan.

"Mereka ramah dan profesional ya. Tak salah aku mempekerjakan mereka," ungkap Calvin puas.

"Syukurlah kalau kamu puas." timpal Adica.

Baru saja mereka akan beranjak ke ruang kerja di lantai atas, kehadiran sekelompok pria mengalihkan perhatian. Sekumpulan pria dengan setelan formal dan wajah datar tanpa ekspresi. Bukan pakaiannya yang menyita perhatian, tapi sosok mereka yang terasa familiar.

Semenit. Tiga menit. Lima menit, Calvin menajamkan fokus penglihatannya. Berharap ia keliru. Namun apa yang dilihatnya ternyata benar. Di kanan-kirinya, Syifa dan Adica merapatkan tubuh. Keduanya mulai waswas.

"Ya Allah..." desah Syifa, matanya melebar tak percaya.

"Mau apa mereka ke sini?" Adica mengepalkan tangannya, marah sekaligus bertanya-tanya.

Pria-pria berbaju rapi itu tak lain Zulfikar, Tanza, Posma, dan Sigit. Mereka pernah meninggalkan jejak trauma mendalam di hidup Calvin. Pasalnya, keempat pria itulah yang meremehkan, merendahkan, menghina, dan membullynya selama bertahun-tahun. Tak hanya verbal bullying, physical bullying pun mereka layangkan pada Calvin.

Sewaktu masih bersekolah, pria-pria itulah murid paling nakal. Mereka membentuk grup murid ternakal dan terjahat di sekolah elite itu. Zulfikarlah si ketua geng. Ia membenci Calvin. Terdorong kebencian, Zulfikar memprovokasi ketiga teman dekat dan murid-murid lainnya untuk melakukan perbuatan kurang baik. Alhasil Calvin menjadi korban bullying dan mengalami tekanan berat. Hal itu terjadi selepas ia mengikuti program homeschooling dan kembali ke sekolah reguler.

Direndahkan, dihina, dianiaya fisik dan psikis, sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Calvin. Kondisi psikologisnya drop. Luka fisik nyaris dialami setiap hari. Mentalnya jatuh. Akan tetapi, pada akhirnya Calvin belajar menjadi kuat dan tangguh.

"Kakak harus berani hadapi mereka. Tunjukkan kalau Kakak sudah berhasil," bisik Syifa.

Calvin berdilema. Sanggupkah ia menemui Zulfikar and Friends? Orang-orang yang telah menyakitinya, orang-orang yang telah mempengaruhi banyak orang lainnya untuk membencinya?

"Ayo Calvin, tunggu apa lagi? Sekaranglah saatnya kamu buktikan pada mereka." desak Adica.

"Aku tidak mau..." tolak Calvin akhirnya.

"Kenapa?"

"Biar mereka tahu sendiri saja."

Adica menghela napas kesal. Ia menarik paksa tangan Calvin. Usut punya usut, ternyata Adica punya dendam pribadi dengan Zulfikar and Friends. Meski tidak satu sekolah dengan Calvin, Adica tahu persis apa yang menimpa kakaknya. Waktu itu ia nekat. Demi sang kakak, Adica menyerang Zulfikar and Friends dengan kekuatannya sendiri. Pernah pula ia membawa teman-teman setianya. Sayang sekali, mereka terpedaya. Mereka gagal melumpuhkan Zulfikar and Friends. Adica benci sekali dengan keempat anggota grup terjahat di sekolah itu. Kini, saatnya ia melampiaskan dendam.

"Ehm...waktunya generasi milenial tebar pesona di cafe." Adica berkata keras, sukses mengejutkan keempat pria metropolis itu.

Melihat siapa yang mendekat, mereka berempat terperangah. Sadar musuh-musuh lamanya telah datang. Zulfikar, si ketua grup, menatap Calvin, Adica, dan Syifa bergantian. Tatapannya tajam mengintimidasi. Tanza tersenyum angkuh. Sigit memasang ekspresi wajah sinis. Hanya Posma yang stay cool.

Sementara Calvin? Bayangan masa lalu kembali berkelebatan. Trauma yang telah lama terkubur dalam-dalam kini bangkit lagi. Ingatannya melayang pada peristiwa sadis saat Zulfikar menamparnya. Posma menertawakannya karena tak bisa membaca dengan lancar. Tanza menghinanya saat ia berbicara dengan kata-kata tertukar dan terbalik. Sigit memukulinya dan memaksanya berlutut untuk meminta maaf karena tak sengaja menumpahkan makanan di lunchboxnya. Kekejaman berulang di masa lalu membuat Calvin trauma. Calvin Wan terluka, sungguh terluka.

"Wow...kayaknya kita mau pesta besar malam ini. Zul, ada teman lama kita tuh." Sigit menunjuk Calvin dengan jari tengahnya, puas bercampur kaget di saat bersamaan.

Zulfikar tersenyum sadis. Ia menggerak-gerakkan pisau di tangannya. Semula ia gunakan pisau itu untuk memotong sirloin steak.

"Long time no see, Calvin. Mau kuberi hadiah selamat datang?"

Ucapan Zulfikar sungguh berbahaya. Akankah pengalaman traumatik di masa lalu terulang kembali? Usia dewasa tak memupus sifat jahat dan kebencian dari hati mereka berempat. Tetap saja mereka membenci Calvin dan berniat melukainya.

Ini tak boleh terjadi. Waktu untuk pasrah dan kalah sudah lewat. Calvin melawan rasa sakit dan traumanya. Ia menghela napas, dan berujar perlahan.

"Aku bukan lagi Calvin Wan yang dulu. Waktu untuk pasrah sudah lewat."

Keempat pria itu tertawa. Sama sekali tidak gentar atau takut.

"Memangnya apa yang bisa dilakukan pengidap Disleksia bodoh dan penyakitan seperti kamu?" tanya Tanza meremehkan.

Sebelum Calvin sempat menjawab, Adica angkat bicara. "Asal kalian tahu saja. Cafe ini milik kakakku. Dia sendiri yang merintisnya dari awal sampai sebesar ini."

Empat pasang mata membelalak kaget. Tak percaya dengan penuturan Adica. Namun tidak bisa sepenuhnya ragu. Sebelumnya, mereka pernah mendengar rumor tentang cafe ini.

"Jadi, benar ya? Cafe ini punya Calvin?" Posma terlihat bimbang sejenak, antara ingin meremehkan dan terkesan.

"Bisa juga, pria bodoh dan tak lancar berbahasa sepertimu membuka cafe sebagus ini." Tanza dan Sigit berkomentar tajam.

Sekali lagi Zulfikar tersenyum sadis sebelum melayangkan responnya. "Aku tidak yakin kamu membuatnya sendiri. Pasti Daddymu tercinta ada di balik layar, kan?"

"Tidak," jawab Calvin, suaranya sedikit bergetar menahan perasaan. Kedua tangannya terasa dingin. Wajah tampannya berubah pucat. Namun ia bertekad tetap kuat. Ia harus bisa melawan rasa sakit dan traumanya.

"Aku melakukannya dengan usahaku sendiri. Sekarang, aku tak lagi pasrah. Kepasrahan adalah sesuatu yang pasif menurutku. Tapi, kini aku menerima. Menerima peluang yang ada dan menggunakannya tanpa kesia-siaan sedikit pun."

Meski sakit dan tertekan, Calvin berbicara cukup lancar. Dia bukanlah Calvin Wan yang dulu. Kelainan Disleksia telah ia taklukkan. Hal ini menuai tatapan heran dari Zulfikar and Friends.

Lantas, apa arti tatapan itu? Mengapa tertangkap sorot penyesalan di sana? Mungkinkah ada sepercik rasa bersalah di hati mereka? Bisakah para pelaku bullying merasakan penyesalan bertahun-tahun kemudian?

Adica dan Syifa tersenyum puas. Mereka selalu ada di kanan-kirinya, menyemangatinya, mendukungnya. Memiliki kakak yang menderita Disleksia dan Osteosarkoma bukanlah aib. Justru mereka menganggap Calvin sangat spesial. Adica dan Syifa mencintai Calvin dengan segala kelebihan serta kekurangannya.

"Guys, ayo kita pergi." Tetiba Zulfikar bangkit berdiri. Diikuti ketiga partner in crimenya.

Sudah cukup. Begitu mereka pergi, Calvin menghempaskan tubuh ke kursi. Menata hati, meredakan detak jantungnya yang tak beraturan. Bayang-bayang trauma masih mencengkeram jiwa. Syifa dan Adica bergantian memeluknya.

"Calvin, are you ok? Sorry aku memaksa, tapi kapan lagi kamu bisa buktikan pada mereka?" kata Adica, kali ini sikapnya melunak.

"Kak Calvin masih kuat kan? Ada yang sakit? Syifa sayang sekali sama Kakak. Syifa bangga..." bisik Syifa, mencium pipi Calvin.

Susah payah Calvin menguasai diri. Ia kumpulkan kembali sisa-sisa ketegaran hatinya. Tak mudah bertemu para pemahat luka di masa lalu. Calvin perlu waktu sangat lama untuk melepaskan diri dari cengkeraman trauma. Kata psikiater yang menanganinya waktu itu, Calvin mengalami Psikosomatis dan sindrom Pascatrauma. Puluhan kali sesi terapi, obat-obat anti depresan, dan proses penyembuhan yang panjang harus dilewati demi terbebas dari trauma masa lalu yang sangat berat.

"Syifa sayang Kak Calvin. Sayang sekali...Kakak nggak akan sendirian menghadapi ini semua." Syifa tak henti membisikkan kata-kata tulus yang menenangkan.

"Terima kasih, Syifa Sayang." Calvin berkata lirih, pelan membalas pelukan adik bungsunya.

Calvin Wan, Adica Wirawan, dan Syifa Ann tipe kakak-beradik yang solid. Rasa sakit satu orang adalah rasa sakit mereka semua. Kebahagiaan salah satu dari mereka pun kebahagiaan milik bersama. Suka-duka mengarungi hidup mereka lewati dalam kasih dan cinta.

**    

"Coba baca ini, Mas Cinta."

Calisa menyodorkan iPadnya. Wahyu mengalah, menengadah sejenak dari tumpukan dokumen-dokumen di meja kerjanya. Ia meraih iPad dari tangan adik tirinya, lalu mulai membaca.

"Lebih baik menerima ataukah pasrah? Hmm...ini kan artikelnya Calvin Wan. So what?"

"Iya. Artikelnya Calvin. Bagus kan? Inspiratif menurutku."

Hening sejenak. Sejurus kemudian Wahyu mengembalikan iPad ke tangan Calisa.

"Calisa," ujarnya serius.

"Kalau kamu mau menebus rasa bersalahmu, sebaiknya lupakan Calvin. Jangan baca artikel-artikelnya lagi."

Calisa terdiam. Sibuk menutup aplikasi web media citizen journalism itu. Lalu menatap kakaknya penuh tanya.

"Salahkah aku membaca artikel-artikel Calvin?"

"Tidak Young Lady, sama sekali tidak. Tapi, coba pikir saja dengan logika. Bagaimana kamu mau menebus rasa bersalah sementara kamu membiarkan pikiran dan hatimu setiap hari dijejali pemikiran Calvin dalam tulisan-tulisannya? Move on, Young Lady. Move on."

Kata-kata Wahyu berpijar di benak Calisa. Move on? Tidak semudah itu.

"Move on? Sulit, Mas Cinta. Makin ke sini, aku justru makin mengaguminya. Calvin penderita Disleksia, tapi dia bisa menulis dengan sangat baik. Tidak ada typo, semua kata ditulis dengan benar. Tulisannya sangat rapi."

Dalam hati, Wahyu mengakuinya. Namun ia tak ingin membenarkan hal itu di depan Calisa. Calvin Wan memang blogger super tampan yang sangat mengagumkan. Konsisten lewat program one day one article. Ia melawan penyakitnya dengan menulis.

"Mas Cinta, lihat penutup artikelnya. Penutup yang cantik menurutku. Calvin selalu menggunakan kata 'hanya' di akhir tulisan. Kata 'hanya' ini bermakna kerendahan hati. Apakah blogger lain menyisipkannya? Tidak, Mas Cinta. Hanya Calvin yang punya style seperti ini. Penutup artikel-artikelnya selalu cantik."

Hal ini pun benar. Perlahan tapi pasti, Calvin membangun stylenya sendiri. Melekatkan ciri khas yang membedakannya dari penulis lain. Ia bermain cantik di bagian penutup. Seperti kata Calisa, penutup artikel-artikel Calvin Wan selalu cantik dan rendah hati. Tetapi Wahyu enggan mengakuinya.

"Cukup. Sebaiknya, jangan ingat-ingat Calvin lagi." Wahyu menyela dengan nada tegas.

Sikap sentimental tercermin jelas. Benarkah "Mas Cinta"nya itu tidak menyukai Calvin? Mungkin Calvin memang salah di masa lalu. Namun, seperti itukah cara menunjukkan rasa tidak suka pada orang yang pernah berbuat kasar di masa lalu?

**      


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun