Keempat pria itu tertawa. Sama sekali tidak gentar atau takut.
"Memangnya apa yang bisa dilakukan pengidap Disleksia bodoh dan penyakitan seperti kamu?" tanya Tanza meremehkan.
Sebelum Calvin sempat menjawab, Adica angkat bicara. "Asal kalian tahu saja. Cafe ini milik kakakku. Dia sendiri yang merintisnya dari awal sampai sebesar ini."
Empat pasang mata membelalak kaget. Tak percaya dengan penuturan Adica. Namun tidak bisa sepenuhnya ragu. Sebelumnya, mereka pernah mendengar rumor tentang cafe ini.
"Jadi, benar ya? Cafe ini punya Calvin?" Posma terlihat bimbang sejenak, antara ingin meremehkan dan terkesan.
"Bisa juga, pria bodoh dan tak lancar berbahasa sepertimu membuka cafe sebagus ini." Tanza dan Sigit berkomentar tajam.
Sekali lagi Zulfikar tersenyum sadis sebelum melayangkan responnya. "Aku tidak yakin kamu membuatnya sendiri. Pasti Daddymu tercinta ada di balik layar, kan?"
"Tidak," jawab Calvin, suaranya sedikit bergetar menahan perasaan. Kedua tangannya terasa dingin. Wajah tampannya berubah pucat. Namun ia bertekad tetap kuat. Ia harus bisa melawan rasa sakit dan traumanya.
"Aku melakukannya dengan usahaku sendiri. Sekarang, aku tak lagi pasrah. Kepasrahan adalah sesuatu yang pasif menurutku. Tapi, kini aku menerima. Menerima peluang yang ada dan menggunakannya tanpa kesia-siaan sedikit pun."
Meski sakit dan tertekan, Calvin berbicara cukup lancar. Dia bukanlah Calvin Wan yang dulu. Kelainan Disleksia telah ia taklukkan. Hal ini menuai tatapan heran dari Zulfikar and Friends.
Lantas, apa arti tatapan itu? Mengapa tertangkap sorot penyesalan di sana? Mungkinkah ada sepercik rasa bersalah di hati mereka? Bisakah para pelaku bullying merasakan penyesalan bertahun-tahun kemudian?