"Sudahlah. Aku tidak berguna lagi di perusahaan. Kinerjaku sebagai general manager tidak optimal. Carilah penggantiku. Katakan pada Papa, aku mengundurkan diri."
Setelah berkata begitu, Calvin berbalik. Menaiki tangga ke kamarnya. Meninggalkan Adica dalam penyesalan.
Adica berteriak frustasi. Memukul pagar tangga dengan kepalan tangannya. Apa kata Tuan Erlambang nanti?
** Â Â Â
Ayah dan anak itu berdiri berhadapan di ruang keluarga. Meski tersenyum menenangkan, tetap saja gurat kekecewaan di wajah Tuan Erlambang tak dapat disembunyikan. Jelas ia kecewa mendengar berita pengunduran diri Calvin.
"Maaf Pa, ini salahku. Kukira dengan menyebut perusahaan, dia akan berpikir rasional. Dia akan menghentikan niatnya bunuh diri. Tapi nyatanya...?" gumam Adica penuh rasa bersalah.
"Kau tahu? Calvin adalah harapan Papa. Calon penerus perusahaan kita. Ahli waris keluarga. Jika dia mengundurkan diri, apa jadinya perusahaan kita?" desah Tuan Erlambang.
"Iya, Pa. Aku tahu itu. Aku menyesal. Papa jangan khawatir. Aku janji, apa pun akan kulakukan untuk menyembuhkan Calvin."
Tuan Erlambang mengangguk. Entah, ia sulit percaya. Tak terkecuali pada putranya sendiri. Harapannya hanya satu: Calvin Wan, putra kebanggaannya, kembali seperti semula.
Jam dinding kuno di seberang ruangan berdentang sebelas kali. Sudah larut malam. Adica berpamitan pada Papanya, lalu kembali ke kamar.
Merebahkan tubuh di ranjang besarnya, Adica mulai berpikir-pikir. Kondisi kakaknya semakin parah. Kehilangan berturut-turut dalam beberapa tahun terakhir, kesepian sebab memutuskan hidup tanpa menikah, dan penyakit stadium tiga sukses menghancurkan hidupnya. Merampas kebahagiaannya. Adica tak tega, sungguh tak tega.