"Namanya menjodohkan orang lain, tidak semua berhasil kan?" Calvin berkata sabar. Silvi tersadar betapa sabarnya Calvin saat itu.
** Â Â Â
Kali ini mereka tak lagi menempati kursi rotan yang sama. Melainkan berjalan bersisian memasuki sebuah cafe yang terkenal dengan kelezatan pizza dan pastanya. Arus listrik ratusan volt serasa mengalir di tubuh Silvi ketika Calvin menggandeng tangannya. Langkah demi langkah bersama Calvin sangat dinikmatinya. Rasa khawatir berganti bahagia.
Aglio olio, caesar salad, dan Earl Grey menemani kebersamaan mereka. Ternyata Calvin tahu apa yang disukai Silvi. Sangat pengertian. Inilah yang disukai Silvi dari Calvin. Beruntung dirinya memiliki kakak laki-laki sebaik itu.
Kelak Silvi takkan melupakan cafe itu, tempat duduk mereka, dan sepotong kenangan yang terlewati di sana. Bahkan Silvi ingin datang ke tempat ini lagi.
Calvin terlihat makin membuka diri. Banyak bercerita tentang pekerjaannya. Silvi mendengarkan dengan tertarik, tatapannya tetap tertuju ke arah yang sama. Belum pernah ia sefokus itu menatap orang lain. Ia senang sekali Calvin mau terbuka padanya. Walau masih ada beberapa hal yang tersembunyi. Luka-luka itu, kenyataan hidup sendiri tanpa terikat pernikahan, dan beberapa hal lainnya.
Berakhirnya waktu makan siang mengakhiri pula kebersamaan mereka. Silvi harus segera pergi untuk acara lain. Sekali lagi, sebelum berpisah, Silvi menggenggam tangan Calvin erat-erat. Bolehkah waktu berhenti? Agar dirinya bisa tetap bersama Calvin, walau untuk sesaat? Begitu erat genggaman tangan Silvi. Berupaya menyalurkan kekhawatiran yang kembali datang.
"Calvin..." Suara Silvi tak lebih dari bisikan. Ia benar-benar takut dengan pertemuan yang akan dihadapinya nanti.
"Ya?"
Calvin membungkuk, mendekatkan wajahnya pada Silvi. Debaran di hati Silvi bertambah dua kali lipat. Aliran darahnya berdesir kian cepat. Silvi bisa merasakan dan menikmati ketampanan Calvin dari dekat. Bukan ketampanan dari luar, melainkan ketampanan yang terpancar dari dalam.
"Aku masih takut..."